­

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magnaaliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exer ull labo nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor aliquip.

0

Koalisi PRD dengan GOLKAR

Dita Sari dan kroninya (baca: elite PRD) telah mengajukan proposal yang kemudian meloloskan taktik parlementer dengan merespon pemilu bersama PBR. Dalam proposal itu dinyatakan, tak akan muncul krisis ekonomi yang mendalam seperti tahun 98, atau paling tidak mendekati itu. Sehingga tak akan muncul lonjakan pemiskinan yang dapat memicu radikalisasi massa. Kondisi ekonomi akan berjalan relatif stabil—analisa yang salah total karena yang terjadi kini adalah sebaliknya—dan masyarakat akan tenang, adem ayem .

Dengan alasan—yang salah—tersebut ditambah momentum pemilu ke depan, mereka kemudian menyatakan bahwa menggantungkan taktik pengolahan radikalisasi massa secara tradisional (baca: ekstraparlementer semata) tidak akan terlalu efektif. Keterlibatan massa akan minim.

Sebagian argumentasi itu ada benarnya, maka itu lah Papernas dibentuk, untuk mengintervensi momentum pemilu. Tapi itu bukan berarti meninggalkan sepenuhnya potensi radikalisasi massa, seperti yang sudah dilakukan Dita Sari dan kroninya.

Selepas Papernas gagal verivikasi, Dita Sari dan kroninya justru terjerumus dalam kekeliruan yang fatal. Walau satu-satunya alat elektoral kaum revolusioner telah gagal, mereka dengan picik dan pragmatisnya tetap memaksakan untuk terlibat dalam pemilu secara total. Mereka tidak menghiraukan walau taruhannya adalah menjerat leher partai dan menggantungkannya ke kaki borjuasi. Sebab, seberapapun mereka melakukan pembenaran, PBR tetap lah partai borjuis.

Ini bukan berarti alergi terhadap taktik koalisi. Hanya saja, mutlak dibutuhkan ketepatan perhitungan agar keuntungan sepenuhnya dapat dicapai, bukan sebaliknya justru dimanfaatkan. Jika berkoalisi dengan mereka dalam medan ekstra parlemen, maka kemungkinan memetik keuntungan jauh lebih besar, baik dari segi kampanye atau massa. Melainkan adalah awal dari kehancuran jika partai (baca: PRD) berkoalisi dengan partai boruis dalam medan elektoral. Karena, seluruh partai peserta pemilu bukanlah kelompok pendukung gerakan demokratik yang selama ini bahu membahu bersama partai dan rakyat di jalanan.

Pertanyaannya kemudian, kenapa Dita Sari dan kroninya tidak memilih koalisi dengan PDIP yang basis massanya orang-orang miskin perkotaan, atau dengan PKB yang pernah dekat dengan partai, atau bahkan dengan Partai Buruhnya Muktar Pakpahan yang dulu sempat diajak bergabung dalam POPOR? Kenapa harus PBR?

Beberapa kali Dita Sari mengatakan dalam wawancara di media, bahwa pilihan terhadap PBR adalah pilihan yang terbaik dari yang terburuk.

Apa benar begitu adanya? Biar bagaimanapun yang namanya partai borjuis tetap partai borjuis, apapun label dan embel-embelnya. Tak ada yang terbaik atau terburuk, semua relatif serupa. Yang membedakan masing-masing partai hanya jumlah kursi dan ketersediaan dana. Siapapun pemenang pemilu, hasilnya sama.

Dilihat dari pengusungan program ekonomi dan politik, semua partai dari Golkar, PDIP, PPP, HANURA sampai PBR, semua sederajat. Jangankan PBR, Golkar dan Suharto di era Orde baru bahkan selalu berkoar-koar tentang keharusan mengentaskan kemiskinan, swasembada, membela petani. Tetapi apa buktinya? Itu semua hanya silat lidah khas borjuasi. Apalagi menjelang pemilu seperti sekarang, segala jargon anti kemiskinan, membela wong cilik dan segala tetek bengeknya mulai berseliweran. Lihat saja Prabowo dan Wiranto yang paling mampu memanfaatkan momentum Pemilu untuk mencuci lumuran darah di tangannya lewat buai kata-kata indah. Coba lihat juga janji-janji PDIP dan GOLKAR, pasti akan ditemukan program-program yang sama manisnya dengan yang ditawarkan PBR.

Ini pemilu bung! Sudah jadi watak borjuasi untuk pada berlomba bersolek. Dan hanya bersolek! Tak terkecuali juga PBR.

Kesalahan besar menelan mentah-mentah janji PBR! Itu sama halnya dengan memberi standard yang sama untuk juga mempercayai apa yang jadi janji GOLKAR, PDIP, HANURA, atau GERINDRA. Tidak perduli apakah PBR telah menandatangani MOU bersama PRD. Apalagi sekarang memang sedang trendnya menandatangani MOU, bukan cuma PBR yang melakukannya. Dan itu sekedar untuk menarik simpati, bukan kesungguhan untuk memperjuangkan. Sungguh bodoh jika menggantungkan pada hal tersebut.

Oleh karena itu, berkoalisi dengan Golkar, PDIP atau PBR sesungguhnya sederajat. Sangat absurd jika mengatakan, lebih baik berkoalisi dengan PBR daripada dengan GOLKAR. Karena pada dasarnya sosok mereka sama busuk, hanya topengnya yang berbeda. Yang satu memakai topeng nasionalis, yang lain berikrar perubahan, lalu juga ada yang membawa-bawa nama agama, namun watak sejati dan ideologi mereka serupa, termasuk juga PBR. Sejarah lima tahun mereka duduk di DPR membuktikan hal itu.

Dita Sari beserta kroninya sering mengagung-agungkan PBR sebagai partai yang membela kepentingan rakyat. Beberapa kali dalam media Dita sari menyatakan hal itu. Tapi nyatanya PBR tidak lebih dari partai yang ikut menolak pembentukan pansus BBM. Mereka jadi bagian yang bersepakat dengan kenaikan BBM yang menyengsarakan rakyat. Tidak ada satupun jejak perjuangan PBR dalam keterpihakannya pada kepentingan rakyat miskin!

Dita Sari juga beberapa kali menyampaikan kesamaan program PBR dengan PRD, yang menjadi landasan koalisi serta isi MOU. Program-program tersebut secara garis besar ada 3, yaitu: Anti hutang luar negri; Kemandirian ekonomi ; dan Pemajuan desa tertinggal.

Mana dari ketiganya yang merupakan program revolusioner? Tiga program itu tidak bisa disamakan begitu saja dengan Tri panji partai:
1. Penghapusan hutang luar negri.
2. Nasionalisasi pertambangan asing.
3. Pembangungan industri nasional.

Yang ditawarkan PBR bukan semata beda redaksional, esensinya pun sudah berbeda. Bersepakat dengan itu sama saja menggadaikan ideologi partai, bukan sekedar berkonsensus. Padahal berkonsensi dengan borjuasi saja sudah merupakan dosa besar.

Bahkan secara redaksional pun program-program mereka tidak jauh berbeda dengan partai-partai lain. SBY secara silat lidah sering berkata di pidato-pidatonya tentang pentingnya kemandirian ekonomi. Tanyakan pada politikus PDIP dan Megawati, mereka pasti akan dengan gamblang menyatakan ketidak setujuan akan hutang luar negri. Tengoklah Golkar yang selalu mengusung slogan pengentasan kemiskinan, bahkan di era Suharto pun sempat membuat program desa inpres.

Dita Sari dan kroninya mungkin berdalih bahwa itu hanya masalah tata bahasa, penyesuaian dengan pembahasaan di PBR. Tetapi nyatanya tidak sekedar begitu. Kemandirian ekonomi, kemajuan desa tertinggal, itu semua lebih mirip jargon orde baru. Omong kosong dan terlalu bias makna. Khas elite politik.

Padahal kalau kita melihat kampanye-kampanye pilkada sekarang, mereka sudah jauh lebih progresif dari program yang ditawarkan PBR. Contoh saja, walau hanya sebatas slogan, namun banyak yang sudah mulai berani menjanjikan pendidikan gratis untuk rakyat. Bandingkan dengan program kemandirian ekonomi, atau memajukan desa tertinggal milik PBR. Program pendidikan gratis jauh lebih maju, dan lebih konkret.

Sekali lagi, ini bukan berarti harus sepenuhnya anti terlibat di pemilu. Tapi lebih pada penggunaan taktik yang tepat agar jangan sampai menjerumuskan massa. Di masa kampanye ini, apa yang mau dikatakan pendukung Dita Sari ke massa? “Ayo coblos PBR karena PBR adalah partai yang pro rakyat.” apa itu namanya bukan menipu dan memanipulasi kesadaran massa. Lain halnya jika kemudian PAPERNAS bisa lolos, adalah pernyataan yang tepat jika menyebut PARPERNAS sebagai partai yang pro rakyat.

Persoalannya bukan sekedar ikut pemilu atau tidak. Saya bisa membayangkan, mungkin yang akan dikampanyekan Dita sari dan kroni-kroninya ke massa adalah seperti ini, “Ayo coblos PBR karena di dalamnya ada orang PRD. Jangan lihat PBRnya, melainkan lihat caleg PRDnya.”

Lha kalau seperti itu, berarti tidak ada bedanya ikut dengan partai lain. Bisa saja kemudian diganti: “Ayo coblos GOLKAR karena di dalamnya ada orang PRD. Jangan lihat GOLKARnya, melainkan lihat caleg PRDnya.” Secara ideologis, keduanya sederajat. Jadi, berkoalisi dengan PBR tidak ubahnya berkoalisi dengan GOLKAR.

Di wawancara Dita sari sering berdalih, kalau mencari suara, buat apa ikut partai kecil, lebih baik ikut partai yang lebih besar pemilihnya.

Menurut saya, partai kecil bukan jaminan keterpihakannya pada rakyat. Mereka kecil hanya karena kurang dana dan kurang tenaga, bukan karena lebih berpihak pada rakyat. Apa bukannya alasan utama pemilihan PBR lebih karena mereka lah satu-satunya partai yang menawarkan PRD untuk jadi Caleg, dan serius memberi ruang untuk itu? Harap diperhatikan, serius memberi ruang bagi kader PRD untuk jadi caleg bukan berarti serius memperjuangkan kepentingan revoluisoner.

Itulah alasan utama kenapa Dita Sari dan kroninya berkoalisi dengan PBR, karena cuma PBR yang serius menyediakan ruang sebagai caleg. Selain itu, tak ada dasar strategis lainnya. Hal-hal lain, seperti analisa sitnas dan turunannya, semata dibuat sebagai pembenar keinginan subyektif tersebut.

Sudah menjadi pemahaman bahwa rakyat saat ini cenderung terilusi oleh pemilu. Pertanyaanyannya kemudian, apa bukannya Dita Sari dan kader-kader PRD lainnya juga ikut terilusi?

Bagi kawan-kawan yang bersepakat dengan Dita, analisa lah diri anda dengan sungguh, apa anda terilusi atau tidak? Karena sesungguhnya Dita Sari beserta kroninya sama terilusinya dengan massa. Buntutisme sejati! Tak ubahnya dengan Menshevik yang mencampakan diri masuk ke dalam pemerintahan sementara karena semata mendapat kesempatan untuk itu, tanpa melihat watak sejatinya pemerintahan tersebut.

Massa mungkin terilusi bahwa pemilu bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan. Tapi, bukan tidak mungkin Dita Sari beserta kroninya terilusi dengan bayang indah kursi parlemen, baik di DPR atau DPRD. Kesadaran ini bisa saja terbentuk karena kelelahan berjuang sekian tahun tanpa kenyamanan, apalagi melihat rekan-rekan seperjuangan sebelumnya telah hampir pasti meraih hal itu. Tengok saja Budiman di PDIP yang semakin mapan posisinya dan tinggal selangkah saja masuk parlemen. Atau juga ada Faesol Reza di PKB, atau bahkan Andi Arief yang sanggup masuk ke jajaran birokrasi lewat dukungannya pada SBY.

Sungguh bahaya jika ambisi pribadi tersebut tanpa sadar telah menjadi alasan mendasar dari pemilihan taktik pemilu PRD saat ini. Mereka melakukan pembenaran dengan berbagai analisa serta memanipulasi kesadaran di internal partai untuk menunjang hal tersebut. Dengan slogan revolusioner Dita Sari beserta kroninya menggunakan kendaran PRD & PAPERNAS semata untuk mewujudkan kepentingan subyektif mereka.

Di jawa tengah, sebagai basis loyalis Dita, ada seorang kader (sebut saja namanya Wiwik dari Purwokerto). Beberapa waktu lalu seorang kawan lama bertemu dengannya di kantor PRD Jateng. Dan dalam pertemuan itu Wiwik dengan bangganya berpamer kalau ia telah resmi jadi Caleg Jateng.

Sungguh ironis. Apa itu namanya bukan terilusi! Buntutisme! Parlementaris tulen! Itulah kekerdilan yang berhasil dibentuk Dita Sari dan kroninya, kebanggaan sebagai caleg! Mimpi yang mengalahkan obyektivitas dan ketepatan taktik, bahkan melunturkan ideologi. Mungkin bisa dikata, semerosot itulah kesadaran para loyalis Dita Sari.

Memakai parlemen sebagai alat perjuangan revolusioner

atau
Memakai perjuangan revolusioner sebagai alat menuju parlemen?


Setipis itulah garis pembatas antara watak revolusioner dengan parlementaris tulen. Namun sejatinya, dengan analisa yang obyektif kebusukan tersebut dapat terlihat dengan jelas. Belum terlambat untuk berpindah sikap.


Sebagai catatan, saya sendiri bukan anggota KPRM-PRD atau bahkan juga sekedar penggiat politik. Hanya orang iseng yang berkomentar, itu saja. Yah, ini memang tidak meletakan saya pada posisi yang lebih baik dibanding para opurtunis itu.






0

Puisi Widji Tukul: SATU MIMPI SATU BARISAN

di lembang ada kawan sofyan
jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah ya karena upah

di ciroyom ada kawan sodiyah
si lakinya terbaring di amben kontrakan
buruh pabrik teh
terbaring pucet dihantam tipes
ya dihantam tipes
juga ada neni
kawan bariah
bekas buruh pabrik kaos kaki
kini jadi buruh di perusahaan lagi
dia dipecat ya dia dipecat
kesalahannya : karena menolak
diperlakukan sewenang-wenang
di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang
umpama dironsen pasti nampak
isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak ya amoniak
di cigugur ada kawan siti
punya cerita harus lembur sampai pagi
pulang lunglai lemes ngantuk letih
membungkuk 24 jam
ya 24 jam
di majalaya ada kawan eman
buruh pabrik handuk dulu
kini luntang-lantung cari kerjaan
bini hamil tiga bulan
kesalahan : karena tak sudi
terus diperah seperti sapi
di mana-mana ada sofyan ada sodiyah ada bariyah
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
di mana-mana ada neni ada udin ada siti
di mana-mana ada eman
di bandung - solo - jakarta - tangerang
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan
-Bandung 21 mei 1992-



0

Sosialisme adalah jalan keluar

KUBA
Di beberapa negeri di Amerika Latin sepertiVenezuela dan Kuba, mereka sudah menerapkan sistem kesehatan gratis bagi rakyatnya. Menurut data, negeri Kuba adalah salah satu dari 41 negeri yang memiliki angka kematian bayi paling rendah dibandingkan Amerika Serikat (AS). Padahal Kuba termasuk negara miskin, namun negeri Kuba masih mampu menyediakan dana sebesar $185 = Rp. 1.800.000 per orang; bandingkan dengan pelayanan kesehatan yang disediakan Pemerintahan SBY-KALLA yang hanya Rp 5.000,- per orang dalam 1 bulan (Askeskin), Rp 10.000,- per orang dalam 1 bulan (Gakin).

Sejak tahun 1984 cara Dokter Keluarga sudah diterapkan oleh Pemerintahan Kuba. Saat ini Kuba mempunyai 64.000 orang dokter yang melayani sekitar 12 juta penduduk; bandingkan dengan Indonesia, yang hanya punya sekitar 34.000 dokter untuk melayani 210 juta penduduk. Setiap dokter keluarga di Kuba melayani sekitar 600 jiwa, dan dokter keluarga ini amat berperan dalam meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat dan bagi mereka yang terpenting adalah mencegah agar jangan banyak masyarakat yang terkena penyakit. Indonesia menerapkan konsep Dokter Keluarga baru di tahun 2006 itupun hanya di Propinsi Sumatera Selatan dengan skala perbandingan satu dokter melayani 2.500 pasien (1:2.500).

Dokter keluarga di Kuba di dukung layanan rujukan berupa poliklinik yang menyediakan layanan spesialis dengan berobat jalan; di Indonesia Puskesmas tidak menyediakan dokter spesialis. Jika diperlukan, penderita yang memerlukan layanan lebih lanjut dikirim ke rumah sakit. Patut diketahui, pada prinsipnya layanan kesehatan di Kuba adalah cuma-cuma, atau GRATIS, dan jika terpaksa dan obat diperlukan yang tak tersedia di Poliklinik penderita dapat membeli di apotek lain dengan harga yang amat murah. Dengan demikian, layanan kesehatan di Kuba berhasil menjangkau hampir seluruh penduduk.

Pemerintahan Kuba juga telah membangun pusat penelitian teknologi kesehatan seperti lembaga untuk penyakit infeksi. Pemerintah Kuba mengeluarkan dana hampir satu miliar dollar (AS) untuk mengembangkan bioteknologi. Strategi pengembangan bioteknologi di Kuba diarahkan untuk menghasilkan produk yang dapat meningkatkan kesehatan masyarakat serta menghasilkan devisa untuk negara. Sekarang di Kuba terdapat 12.000 peneliti, 15 persen di antaranya bergelar doktor.

Jika kita sekarang menghadapi kembali ancaman penyakit malaria, maka Kuba telah lama dinyatakan bebas malaria. Penyakit demam berdarah juga dapat dikontrol dengan baik sehingga Kuba menjadi salah satu negara yang dijadikan tempat pelatihan dalam hal penanganan penyakit demam berdarah ini. Laboratorium penelitian negara ini berhasil membuat sendiri teknologi untuk memeriksa demam berdarah. Teknologi tersebut ini telah digunakan secara luas di Kuba. Hampir semua pendanaan untuk mendukung kesehatan di Kuba diperoleh dari APBN-nya atau dari dana pembelanjaan negara.

Harap diketahui bahwa kekayaan sumber daya alam di Kuba hanya tebu/gula, kopi, tembakau, dan cengkeh; coba bandingkan dengan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara kita, Indonesia.


VENEZUELA
Di bawah pemerintahan presiden Hugo Chavez (yang memerintah sejak 1998 hingga sekarang) Venezuela melakukan Revolusi Kesehatan, karena persoalan paling serius yang dihadapi rakyat adalah minimnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Program kesehatan nasional berdasarkan klinik-klinik lokal setempat untuk pemeliharaan kesehatan dasar. Program ini berlaku bagi 80% kampung kumuh di Venezuela. Program ini juga merupakan perencanaan sistem kesehatan berdasarkan kehendak rakyat, tidak lagi berdasarkan atas berapa dana yang mereka miliki dan berapa sanggup mereka bayar. Sebelum pemerintahan Hugo Chaves berkuasa, perawatan semacam ini harus membayar sekitar 20.000 Bolivar (Rp. 100.000,-) untuk sekali konsultasi saja, sementara perawatan bisa mencapai 85.000-150.000 Bolivar (Rp. 400.000 hingga 750.000). Sedangkan upah minimum di negeri itu pada saat itu hanyalah 321.000 Bolivar (sekitar Rp. 1.600.000) perbulan.

Selanjutnya pemerintahan Venezuela, di bulan juni, 2005, melakukan pembangunan pembangunan rumah-rumah sakit, Pusat-pusat Diagnosa Terpadu (PDT), dan Ruang Rehabilitasi Terpadu (RRT). Sudah 30 PDT dan RRT dibangun pada tahun 2005 dan akan dilanjutkan dengan pembangunan 600 PDT dan RRT. Kedua program ini merupakan pelengkap dan tambahan bagi klinik-klinik rakyat yang baru yang sebelumnya sudah dibangun. Program ini meliputi semua pelayanan kesehatan secara GRATIS. Dalam poliklinik-poliklinik tersebut ada departemen operasi, penanganan trauma, kesehatan kulit, kejiwaan, terapi bicara, gigi dan bagian jantung. Lebih jauh lagi, mereka juga memiliki apotik, laboratorium dan juga mengerjakan berbagai bentuk kerja sosial bekerja sama dengan Komite Kesehatan di area tersebut.

Baru-baru ini pemerintah mengumumkan penyediaan dana sebesar 4,5 milyar dollar (sekitar 40,5 Trilyun rupiah) untuk semua misi sosial (termasuk misi kesehatan) di Venezuela. Anggaran untuk program-program ini selain dari pendapatan minyak PDVSA (perusahaan minyak negara) juga diperoleh dari kredit tambahan yang berasal dari Dana Pembangunan Nasional.

Jika kita lihat dari pengalaman kedua negeri tersebut, tentu banyak hal yang seharusnya bisa dicontoh oleh pemerintah kita agar peduli dengan kehidupan rakyatnya (terutama dalam hal pendidikan dan kesehatannya) sehingga rakyat dapat mengamalkan hidup yang sehat.




0

KPRM PRD vs PRD oportunis: Koalisi (Ala Papernas dan PBR) Mematikan Pembangunan Gerakan Alternatif –Kritikan terhadap proposal PRD

PEMBEBASAN NO.1 JANUARI 2008
Oleh: Gregorius Budi Wardoyo
1. Kritikan terhadap Latar Belakang proposal PRD:
Disampaikan bahwa mayoritas kelas elit adalah perantara sekaligus mandor bagi kepentingan imperialisme (modal asing).
Apakah pernyataan tersebut bermaksud mengatakan: ada sebagaian kecil kelas elit yang tidak menjadi mandor imperialis. Jika memang ada, mestinya ada penjelasan siapa saja mereka dan apa kepentingan ideologi politiknya, karena tidak menjadi mandor bukan sertamerta anti terhadap imperialis, apalagi melawannya.

§
Disampaikan juga bahwa keresahan rakyat terus meningkat dan melahirkan perlawanan-perlawanan namun masih fragmentatif, dapat dikanalisasi secara prosedural dalam demokrasi liberal, dan miskin orientasi politik.

Sekalipun upaya rejim untuk mengkanalisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dilakukan dengan memaksakan demokrasi prosedural, namun bisa dikatakan upaya rejim tidak sepenuhnya berhasil, karena aksi–aksi massa tiap hari terus terjadi bahkan, di banyak tempat, dengan metode-metode yang radikal, sehingga demokrasi prosedural bukan makin menguat legitimasinya melainkan makin melemah. Demikian juga dengan angka golput yang tinggi dalam pemilihan kepala daerah, atau juga survey banyak lembaga yang menyatakan bahwa rakyat makin tidak percaya kepada parpol pemenang pemilu 2004, tidak percaya pada DPR, tidak pada percaya Pemerintah, tidak percaya pada elit-elit politik, tidak percaya pada birokrasi maupun aparatus keamanan, dan tidak percaya pada hukum. Kenapa perlawanan rakyat masih fragmentasi dan “miskin orientasi politik”? Itu karena campur tangan kaum pelopor masih kurang baik secara ideologi, politik maupun organisasi. Seharusnya ini diakui oleh PRD dan kaum revolusioner lainnya, bahwa kemampuan mereka (secara subyektif) untuk mengintervensi perlawanan rakyat belum cukup kuat, baik dalam pekerjaan ideologi, pekerjaan politik maupun pekerjaan organisasi, bukan malah menyalahkan kondisi obyektifnya (yang sebenarnya kondusif bagi perlawanan politik yang sadar dan terorganisir). Karena rakyat Indonesia, juga rakyat di negeri manapun, hanya akan mendapatkan kesadaran sejatinya—kesadaran sosialisme—jika kaum pelopor terus menerus mengintervensi dengan berbagai macam cara, dengan ketekunan, dengan ketelitian, dengan kesabaran yang tinggi. Pasca reformasi, rakyat Indonesia terus melawan karena tidak ada perubahan yang siginifikan buat mereka, malah makin dimiskinkan. Itulah sumber utama enerji partai revolusioner yang, kalau tepat diolah dengan baik, akan menjadi kekuatan sesungguhnya bagi pergantian sistem ekonomi-politik di Indonesia, dan akan menular ke negri-negeri lainnya.
§
Juga dikatakan, dalam pendahuluan, bahwa belum ada alternatif yang sanggup tampil ke arena politik untuk memimpin, mengolah, dan mengarahkan keresahan rakyat tersebut menjadi perjuangan anti imperialisme yang efektif.

Jelas, jelas sekali. Memang belum ada alternatif. Untuk kepentingan itulah PAPERNAS kita dirikan, agar rakyat miskin, rakyat yang melawan, mempunyai saluran perlawanannya, mempunyai ideologinya sendiri, mempunyai politiknya sendiri, dan mempunyai alat perjuangannya sendiri yang akan berhadapan dengan semua kekuatan politik anti rakyat baik Imperialis maupun boneka-bonekanya di Indonesia. Dan pekerjaan untuk menjadikan PAPERNAS sebagai alternatif belum selesai, dan tidak akan pernah selesai sekalipun nantinya rakyat Indonesia sudah menang, karena masih ada tanggung jawab untuk membebaskan rakyat di negeri-negeri lain. PAPERNAS tidak didirikan semata-mata untuk PEMILU, tetapi sejatinya adalah untuk memimpin dan membesarkan gerakan rakyat, sehingga hidup matinya PAPERNAS bukan ditentukan oleh penguasa atau oleh siapapun (musuh rakyat), melainkan oleh rakyat sendiri, karena PAPERNAS adalah milik rakyat miskin.
§
PRD juga menyampaikan: dalam proses sebelumnya, upaya membangun persatuan tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan, baik dengan unsur-unsur gerakan [lewat KPGR (Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat), ABM (Aliansi Buruh Menggugat), dan PPR (Partai Perserikatan Rakyat)] ataupun dengan unsur-unsur moderat (intelektual, tokoh-tokoh politik, agamawan, ekonom, tokoh LSM, budayawan, dan lain sebaginya).

Betul, sudah ada upaya. Tapi, jika mau jujur, upaya untuk membangun persatuan tersebut, dalam rencana yang disusun pada saat itu, hanyalah dengan mencoba meluluskan proposal, bukan dengan kerja-kerja bersama dalam merespon momentum-momentum politik atau momentum-momentum perlawanan rakyat. Memang ada KPGR, namun itu bukan rencana kita, itu adalah usulan dari kawan lain di luar kita, yang kemudian kita sepakati dan kita coba kerjakan. Dalam prekteknya, memang unsur-unsur gerakan, terutama yang ada di Jakarta, tidak bersungguh-sungguh tapi, di luar Jakarta, sambutan terhadap KPGR ini cukup luas. Sayangnya, karena kelemahan kepemimpinan di Jakarta, sambutan yang luas di berbagai daerah tersebut tidak dapat dipertahankan dan diperluas. Padahal, terbukti, ketika kita memutuskan untuk membangun KP-PAPERNAS, sebagian unsur KPGR juga terlibat. Demikian juga halnya dengan ABM: sekalipun intervensi kita minimal, namun penerimaan ABM untuk menjadikan isian TRIPANJI menjadi PLATFORM ABM merupakan sebuah langkah maju, apalagi ABM bukan semata-mata aliansi taktis, melainkan aliansi semi permanen—bahkan, dalam perjalanannya, sekarang akan dimajukan menjadi aliansi permanen dalam bentuk konfederasi serikat buruh; dan, lebih dari itu, ABM telah mendorong terjadinya pembangunan persatuan dengan sektor/gerakan rakyat di luar buruh. Kerja-kerja tersebut, sayangnya, kemudian makin diminimalkan setelah KP-PAPERNAS terbentuk, karena sebagaian kawan menjadi anti atau tidak percaya bahwa capaian yang telah didapat akan bisa dimajukan. Alasan utama beberapa kawan itu: gerakan tersebut tidak mau ikut pemilu. Padahal gerakan tersebut memiliki platform anti imperialis dan punya jaringan yang juga luas. Apakah gerakan anti imperialis harus mau ikut pemilu dulu baru boleh diajak untuk bersatu oleh kita? Naïf alias bodoh: karena sesungguhnya persatuan anti imperialis adalah berkali-kali lebih penting, berkali-kali lebih utama daripada sekadar ikut pemilu. Dan sejarah di banyak negeri, juga di Indonesia, telah menunjukan bahwa pemerintahan borjuis bisa dikalahkan oleh gerakan rakyat di luar mekanisme pemilu. Apalagi pemilu di Indonesia, sistemnya jauh dari demokratik, bahkan menjauhkan rakyat dalam partisipasi yang sesungguhnya sehingga, seharusnya, ketika PAPERNAS memutuskan mengintervensi pemilu, maka kerja utama PAPERNAS adalah mendobrak hambatan-hambatan demokratis yang dibuat oleh rejim, bukannya mengamini. Dan upaya mendobrak hambatan demokrasi tersebut, tidak cukup bersandar pada Aliansi Parpol untuk Keadilan, harus bersandar pada gerakan-gerakan mobilisasi massa, terutama massa yang sadar, massa yang militan, tentunya—dengan demikian membutuhkan pengorganisiran terlebih dahulu. Sedangkan Aliansi Parpol untuk Keadilan bisa dikatakan sangat cair—semua partai yang dirugikan oleh UU Pemilu atau RUU Pemilu bisa bergabung, termasuk partai Hanura maupun PKPB, yang pimpinan-pimpinanya adalah antek-antek Suharto/Orde Baru, pelanggar HAM, anti demokrasi. Bagaimana bisa: mengharapkan komitmen demokrasi pada mereka yang sejatinya anti demokrasi?
§
Dalam Latar Belakang, PRD juga mengajukan pertanyaan apakah intervensi Pemilu 2009 tetap dipandang sebagai sesuatu yang obyektif dibutuhkan—dalam kerangka taktik menghadapi imperialisme? Bila tidak, seperti apakah garis politik lain yang dapat dijalankan oleh struktur Papernas sampai Pemilu 2009? Bila ya, terdapat kenyataan Papernas belum sanggup (berdasarkan laporan organisasi) memenuhi syarat-syarat yang diciptakan rejim, dan apakah melakukan koalisi dengan partai lain dapat menjadi kesepakatan kita untuk pilihan kerja politik ke depan?

Ya, pemilu, sebagaimana juga panggung/momentum politik lainnya, harus di intervensi, tapi intervensi tidak selamanya bermakna harus menjadi peserta agar mendapatkan keuntungan yang maksimal. Mega-Bintang-Rakyat (MBR), yang merupakan taktik intervensi pemilu oleh PRD pada tahun 1997, berhasil mengajak jutaan rakyat tumpah ruah ke jalan dalam mobilisasi-mobilisasi kampanye PPP di banyak kota, dengan mengusung semangat/program Gulingkan Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Cabut Paket 5 UU Politik dan program demokratik lainnya. Jutaan rakyat tersebut jelas merupakan hasil intervensi PRD, karena Pimpinan PPP maupun PDI Mega justru melarangnya, termasuk Rejim Soeharto pun melarang arak-arakan massa. Namun massa rakyat tidak mengindahkan larangan-larangan tersebut, mereka tetap tumpah dan bergerak di jalan-jalan sehingga, kemudian, dengan intervensi kaum pelopor yang terus berkelanjutan, akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto di tahun 1998—padahal pada Pemilu 1997 GOLKAR menang mutlak, dan Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden hingga 2002. Selain itu, tindakan politik tersebut berhasil memukul mundur ABRI hingga ke pojok. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa penjatuhan Soeharto dan kesanggupan memukul mundur ABRI bukan capaian yang luar biasa—padahal, pada waktu itu, PRD adalah partai terlarang, bergerak di bawah tanah, sedang dikejar-kejar, dan dengan jumlah anggota yang sangat sedikit. Ada juga pengalaman Intervensi lainnya yang dilakukan oleh Chavez pada pemilu 1994 di Venezuela: melakukan golput aktif dengan propaganda utama Bukan Pemilu, tapi Majelis Konstituante sehingga, kemudian, pada tahun 1998 berhasil memenangkan Chavez menjadi Presiden dengan program kerakyatannya. Padahal pada pemilu 1994, Chavez ditawarkan menjadi calon Presiden dari Partai Cauza R—partai kiri yang sudah punya kursi lumayan besar di parlemen pada watu itu—namun Chavez menolaknya, karena pemilu masih dikuasai oleh elit/parpol anti rakyat sementara kekuatan rakyat belum teroragnisir dengan cukup kuat. Chavez kemudian mengkampanyekan Bukan Pemilu,Tapi Majelis Konstituante dan terus mengkampayekan kebutuhan akan majelis konstituante pada tahun-tahun berikutnya sekaligus membangun struktur organisasi dan legalitas legal untuk memperjuangkannya. Dan, pada tahun 1996, dua tahun sebelum pemilu 1998, Chavez mengadakan survey pada 100 ribu rakyat [1], yang isinya menanyakan pada rakyat: apakah rakyat menghendaki dirinya mencalonkan diri menjadi Presiden pada Pemilu 1998 atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 87 % menyatakan, Chavez harus mencalonkan diri; survey berikutnya menanyakan: apakah mereka akan memilih Chavez atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 57 % menyatakan akan memilih Chavez. Akhirnya Chavez membentuk partai politik, berpartisipasi dalam pemilu 1998, dan berhasil memenangkan pemilu dengan dukungan 57 % suara, sama dengan hasil survey sebelumnya. Dan kita semua tahu bahwa Chavez kemudian melakukan perombakan UUD secara radikal, sehingga UUD di Venezuela adalah UUD yang paling demokratik baik proses pembuatannya maupun isinya—termasuk banyak sekali program-program kerakyatan seperti pendidikan gratis hingga universitas, kesehatan gratis, menasionalisasi aset-aset negara yang telah dikuasai Asing dan lain sebagainya. Apakah ini bukan capaian yang maksimal, sekalipun Chavez tidak ikut pemilu pada tahun 1994. Dalam kepentingan PAPERNAS SEBAGAI ALTERNATIF, apakah PAPERNAS harus IKUT PEMILU dengan TAKTIK KOALISI—sebenarnya bukan koalisi, tapi MERGER (melebur)—BERSAMA PARTAI BORJUIS (PBR, salah satunya)? Tentu tidak, karena: 1) rakyat Indonesia, seperti kesimpulan di atas, makin tidak percaya pada elit/parpol borjuis, termasuk mekanisme borjuisnya. Rakyat justru membutuhkan ALTERNATIF di luar PARTAI DAN ARENA MEKANISME BORJUIS, sehingga seharusnya KONSENTRASI/PRIORITAS kerja PAPERNAS bukan di situ; 2) merger dengan borjuis (ala PEPRNAS) jelas akan mengikat tangan dan kaki PAPERNA karena, belum apa-apa, sudah meminta TUMBAL, yakni: PAPERNAS sebagai PARTAI POLITIK DIBUBARKAN, diganti PAPERNAS sebagai ORGANISASI MASSA (yang didaftarkan ke DEPDAGRI, walaupun esensinya, katanya, tetap partai. Satu taktik yang membingungkan rakyat). 3) tidak ada satupun partai borjuis yang ada di PARLEMEN sekarang punya persepektif ANTI IMPERIALIS dan PERSPEKTIF DEMOKRASI, apalagi PBR dan PELOPOR bahkan MENJADI PARTAI PENDUKUNG SBY-JK; 4) Papernas belum cukup kuat secara ideologi, politik dan organisasi untuk mencegah pengaruh-pengaruh busuk borjuis, jika terjadi MERGER.

Namun jika koalisi terpaksa dilakukan karena ada situasi-situasi khusus—seperti ada potensi keuntungan yang sangat besar, atau ada ancaman terhadap demokrasi yang nyata dan sangat signifikan—maka bisa saja koalisi dijalankan dengan prinsip-prinsip yang tidak merugikan (kontra-produktif terhadap) kepentingan PAPERNAS sebagai PARTAI ALTERNATIF: 1) landasan Platform koalisi harus jelas, tidak boleh abstrak—sekalipun moderat—dan tidak boleh kontradiktif serta kontra-produktif terhadap program–program PAPERNAS; 2) paling tidak di luar arena merger, harus ada kebebasan bagi PAPERNAS untuk melakukan aktifitas Ideologi, Politik dan Organisasinya—dalam hal ini, bebas mengkampanyekan Tripanji [2] dan program-program lainnya, bebas melakukan metode-metode perjuangannya, bebas menggunakan PAPERNAS sebagai PARTAI (tidak boleh dilarang, apalagi dibubarkan menjadi ormas), dan bebas melakukan kritikan terhadap sekutu baik karena kesalahan masa lalu, masa kini atau jika ada kesalahan sekutu di masa depan; 3) jika syarat tersebut terpenuhi, tetap saja pekerjaan koalisi merupakan PEKERJAAN SEKUNDER, BUKAN PEKERJAAN UTAMA, karena PEKERJAAN UTAMA PAPERNAS adalah MEMBANGUN POLITIK ALTERNATIF, POLITIK RAKYAT MISKIN.

2. Kritikan dalam Hal Analisa Situasi Nasional

§
PRD menyatakan: demikian halnya dalam lapangan politik, belum ada suatu gambaran data maupun kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan—yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral—yang juga diamanatkan oleh Kongres Pembentukan Papernas di Kaliurang.

Apa yang dimaksud dengan belum ada satu gambaran data atau kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral? Jika pertanyaan ini dibalik secara negatif, apakah ada data-data yang menunjukan bahwa PARLEMEN di Indonesia bisa menjadi ajang bagi perubahan sejati?Apakah ada data-data yang menunjukan partaip-partai Borjuis di Indonesia punya perspektif anti Imperialis dan demokrasi? Jika PRD memahami dialektika sejarah meereka seharusnya mengerti bahwa aksi-aksi, YANG sekarang terus-menerus terjadi, adalah buah dari kegagalan sistem demokrasi prosedural dan neoliberalisme, adalah buah dari kegagalan partai-partai politik borjuis dalam memberikan jalan keluar, sehingga dapat manjadi potensi yang luar biasa besarnya bagi POLITIK ALTERNATIF, bagi POLITIK EKSTRA PARLEMEN, bagi PAPERNAS sebagai PARTAI RAKYAT MISKIN. Namun potensi tersebut harus diolah secara tepat, dengan kesabaran yang sepenuh-penuhnya dalam melatih massa, mendidik massa, menggorganisir massa dan menyatukan massa dalam kepemimpinan program/politik, sehingga tidak mustahil akan lahir perubahan yang sejati dengan cara EKSTRA PARLEMEN. Namun jika PRD bermaksud MENUNGGU ADANYA GERAKAN RAKYAT YANG REVOLUSIONER TANPA MENGOLAHNYA, maka ITU BERARTI PRD mengambil sikap BUNTUTISME, mengekor pada kesadaran massa—yang sekarang justru sedang tanpa pengolahan kaum revolusioner. Bagi PRD: harus ada PARASMANAN kesadaran massa yang maju—dan hal itu, katanya, disebut realistis, disebut sebagai tindakan politik kongkrit. Bagaimana mungkin ada parasmanan kesdaran massa yang maju bila tidak diolah oleh kaum pelopor, yang memasokan kesadaran maju? MIMPI. PRD malah menganggap mengolah potensi tersebut sebagai mimpi, karena itu lebih baik mengambil jalan politik yang tidak bertumpu pada kesadaran maju massa (KARENA BELUM ADA), atau jalan pintas politik: menjadi peserta pemilu, APAPUN TUMBALNYA. Ada istilah untuk tindakan tersebut: PRAGMATIK, bahkan kapitulasi (baca: menyerah pada skenario musuh). Padahal, seharusnya, menjadi peserta pemilu (yang tidak mengorbankan segalanya) tujuannya justru untuk membantu pengolahan memajukan potensi kesadaran, tindakan politik, dan organisasi massa (sebagai yang pokok). Bisa saja PRD mengaku bahwa itulah sebenarnya yang akan dilakukan: memanfaatkan peluang pemilu dan duduk di parlemen/pemerintahan untuk menyadarkan massa. Bagaimana mungkin penyadaran massa akan efektif bila sebelumnya saja potensi kesadaran maju dan radikalisasi massa sudah dicemoohkan, dinilai rendah. Sejatinya, apa yang harus dikatakan PRD: Mari, kita mengolah kekuatan bakyat untuk berkuasa (salah satunya dengan cara menjadi peserta pemilu, tanpa mengorbankan segalanya) dan revolusi; dan jadikan pemilu serta parlemen untuk membantu membangkitkan kekuatan rakyat lebih jauh: revolusi. (Harus diingat kesadaran massa saat ini bisa saja dimanipulasi oleh borjuis bila tidak dipasokkan program sejati oleh kaum pelopor.) PRD mencoba agar taktiknya tidak menjadi mimpi, tidak sekadar menunggu kesadaran dan tindakan politik massa menjadi maju, yakni dengan menjadi OPPURTUNIS: 1) memanfaatkan keresahan rakyat, radikalisasi massa, dari parlemen (parlementaris); 2) atau mengambil untung dari hasil pekerjaan (tindakan/mobilisasi politik) orang/kelompok lain, juga dari parlemen Ini persis sama seperti sikap PKS dan ormas-ormasnya—dulu, saat mereka masih di bawah tanah, saat PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya menggorganisir gerakan penjatuhan kediktaktoran Soeharto (pada tahan 1980an hingga 1990an), PKS tidak terlibat sama sekali dalam gerakan tersebut, namun sedikit demi sedikit mereka membangun dan memperluas struktur seiring dengan terbukannya ruang demokrasi yang diperjuangkan PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya, dan baru pada detik-detik terkahir penggulingan Soeharto, senat-senat yang mereka kuasai ikut turun ke jalan. Hasilnya, mereka sekarang besar, tetapi besar di atas darah pejuang-pejuang demokrasi, darah kader-kader PRD saat itu, darah rakyat yang telah melawan kedikaktoran Soeharto. Dan bagaimana bila semua orang dan kelompok berpendirian sama dengan PKS/ormas-ormasnya, bisakah ruang demokrasi dibuka lebih lebar (Baca: sehingga bisa membesarkan PKS dan ormas-ormasnya). Benalu dan buntutisme (karenanya pemimpi).
§
Dalam hal analisa politik, PRD menyatakan bahwa, sekalipun ruang demokrasi menyempit dan kekuatan konservatif semakin menguat, celah untuk melawan imperialisme tetap terbuka, baik di arena parlementer maupun ekstra parlamenter. Kita juga sekata, bahwa upaya memundurkan demokrasi ini harus dilawan, agar semakin lapang jalan bagi rakyat untuk berdaulat sepenuhnya. Perlawanan ini nyata sedang kita lakukan.

PRD mengatakan bahwa ada celah untuk melawan Imperialisme di arena PARLEMENTER dan EKSTRA PARLEMETER.. Sebenarnya, seberapa besar celah perlawnan terhadap imperialis di arena parlementer dibandingkan dengan arena di luar parlemen? Bila dianalisa dari partai-partai yang ada sekarang, dari aturan-aturan yang ada di arena parlemen, bahkan dari situasi di parlemen, sangat jelas bahwa celah itu sangat kecil. Sekalipun ada anggota PAPERNAS yang menjadi anggota DPR, celah itu masih sangat kecil, apalagi jika tidak ada gerakan massa di luar parlemen. Namun bandingkan dengan arena di luar parlemen, banyak sekali organisasi gerakan yang mengusung program anti imperialisme—walaupun belum bersikap soal taktik arena parlemen—banyak sekali aksi-aksi di luar arena parlemen yang sangat maju metodenya, banyak sekali perlawanan rakyat (di luar arena perlemen) yang menolak dampak-dampak neoliberalisme, dan semakin meningkat ketidakpercayaannya terhadap arena parlemen. Ekspresi GOLPUT jangan dianggap remeh menjadi semata teknis, tidak bisa bangun pagi, karena kerja, tidak terdaftar sebagai pemilih dan lain sebagainya. Karena rakyat akan bersemangat mengikuti pemilu dengan segala tetek-bengeknya kalau ada harapan perubahan yang akan diberikan setelah pemilu. Juga jangan anggap remeh ekpresi pengulingan Kepala Daerah-Kepala Daerah yang anti rakyat. Ini adalah celah yang luas sekali, belum lagi cakupan teritori dan sektornya, yang menyebar di seluruh Indonesia. Bahkan Hizbut Tahrir Indonesia— fundamentalis Islam—justru mengangkat program anti imperialis yang lebih maju dibandingkan dengan PDIP maupun PKB, apalagi PBR dan PELOPOR. Dengan demikian, jika berangkat dari politik kongkrit, politik nyata, politik rakyat, maka arena di luar parlemen lah yang memungkinkan menjadi arena utama untuk diolah oleh PAPERNAS, walaupun pada awalnya sulit populer—yang bisa diatasid engan program persatuan.
§
Dalam hal kesadaran massa, PRD menyatakan bahwa sebagian besar dari aksi-aksi perlawanan tersebut masih berada di bawah pengaruh kesadaran reformis, yang dapat diselesaikan, bisa dihentikan, dengan sogokan dan konsesi-konsesi. Karena itu, masih ada potensi rakyat akan kembali terseret menuruti kehendak partai-partai dan elit tradisional dalam suatu momentum politik yang muncul.

Tentu saja kesadaran mayoritas rakyat adalah kesadaran reformis—kesadaran borjuis—dan ini asal usulnya sangat mudah dianalisa, yakni: ideologi borjuis jauh lebih tua, jauh lebih lama, dibandingkan dengan ideologi demokrasi kerakyatan, apalagi ideologi demokrasi kerakyatan di Indonesia telah dihancur-luluh-lantakan pada tahun 1965 dan sepanjang Orde Baru berkuasa, bahkan hingga sekarang ideologi demokrasi kerakyatan tidak sepenuhnya bebas dipropagandakan. Dan kesadaran reformis rakyat ini, selamanya akan selalu begitu, jika kaum pelopor, kaum revolusioner, tidak mengintervensinya dengan penuh dalam situasi apaun dan dengan alasan apapun.
§
Lebih jauh PRD menyatakan: Lebih gamblang dapat dijelaskan bahwa perkembangan kuantitatif tersebut belum sanggup mengatasi kelemahan mendasar dari seluruh perlawanan tersebut, yaitu; fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik.

Benar, PRD benar sekali, bahwa perkembangan kuantitatif perlawanan spontan belum sanggup mengatasi fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik, serta seusungguhnya bukan hanya belum sanggup, melainkan tidak akan pernah sanggup. Massa rakyat, dengan pengalaman ditindas dan perlawanannya (yang tak tersadarkan)—juga harus dicatat, masih banyak lagi yang ditindas tetapi tidak melawan—akan memiliki kesanggupan untuk mengatasi persoalan fragmentasi dan orientasi politik seperti yang di maksudkan PRD, karena persoalan persatuan perlawanan, persoalan perebutan kekuasaan, persoalan sosialisme, hanya mungkin didapatkan oleh massa rakyat jika ada kekuatan politik pelopor yang memasoknya, mendidiknya dengan tak kenal lelah, dengan bacaannya, dengan aksi-aksinya, dengan organisasinya, dengan persatuan-persatuannya, dengan vergadering dan lain sebagainya. Sehingga keberadaan PRD dan organisasi politik lainnya, yang mengaku dirinya sebagai kekuatan politik kelas, kekuatan politik termaju dari massa rakyat miskin, seharusnya diabdikan ke arena tersebut, bukan sebaliknya: meninggalkan arena tersebut dan menunggu massa rakyat untuk sadar sendiri; baru kemudian setelah massa rakyat sadar, PRD akan bergerak di arena tersebut. Apalagi alasan meninggalkan arena tersebut? Karena ada arena lain, yakni arena parlemen yang sangat “nyata”, “kongkrit” yang, nyatanya, kongkritnya, tidak memiliki kesanggupan untuk membebebaskan massa rakyat miskin dari cengkraman penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya.
§
Dalam hal memandang gerakan, PRD menyatakan: Kaum pergerakan adalah salah satu fragmen dari luasnya fragmen rakyat yang berlawan. Sebagai salah satu fragmen, kaum pergerakan juga masih terpisah-pisah lagi ke dalam detail fragmen yang lebih luas, baik dalam hal pilihan praktik politik maupun pilihan alat yang digunakan. Mayoritas dari fragmen kaum pergerakan (yang relatif kecil dalam perimbangan dengan kekuatan elit secara keseluruhan) belum mempunyai orientasi politik, atau masih ragu-ragu dan lamban menentukan sikap.

Sebagai fakta, betul apa yang disampaikan oleh PRD, namun tentu saja akan salah jika fakta tersebut kemudian dijadikan pembenaran untuk meninggalkan gerakan, karena selemah-lemahnya iman kaum pergerakan (katakanlah pimpinan dan organisasi kerakyatan), merekalah yang paling maju dalam perjuangan melawan dominasi penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya. Apakah PRD buta (mata dan hati) bahwa salah satu elemen pergerakan, yakni Aliansi Buruh Menggugat, adalah Organisasi yang dalam tindakan politiknya telah bergerak dengan mengusung TRIPANJI; atau KAU, yang sekalipun masih sangat elitis dalam makna organisi, namun kampanye-kampanye mereka soal penghapusan utang luar negeri, cukup efektif; apakah PRD juga buta (politik), bahwa Walhi (dengan jaringannya) cukup efektif mengkampanyekan tuntutan-tuntutan anti neoliberal; demkian juga dengan beberapa organ permanen kampus yang mengusung program anti neoliberal; dan banyak pula organ-organ pergerakan yang mengusung program demokratisasi atau kombinasi keduannya. Sebagai fakta, tidak dapat dipungkiri bahwa jaringan organ pergerakan tersebut masih kecil, juga kemampuan propaganda dan mobilisasinya, namun fakta tersebut tidak bisa dijadikan alasan bagi partai pelopor untuk meninggalkannya, karena tugas menyadarkan, menyatukan, memperbesar gerakan adalah tugas partai pelopor.
3. Kritikan dalam hal Program Perjuangan
Tidak ada kritikan dalam hal program perjuangan.

4. Kritikan terhadap Strategi-Taktik Front Persatuan dan Koalisi Elektoral
§
Sejauh unsur-unsur pendukung imperialis di dalam negeri masih dominan di lapangan politik, dan menguasai alat-alat kekuasaan negara, dan di lain pihak terdapat potensi unsur-unsur yang menentangnya, maka politik front persatuan mutlak kita butuhkan.

Dalam logika front persatuan yang dimaksud oleh PRD, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kesamaan program anti dominasi imperialis adalah salah satu ukuran dalam hal penggalangan sekutu—logika yang kemudian dibantah sendiri oleh juru bicara–juru bicara PRD dalam Sidang Presidium Nasional PAPERNAS—bahkan PRD mengatakan, potensi unsur-unsur yang menentang dominasi imperialis pun wajib dijadikan sekutu. Artinya, kaum pergerakan, perlawanan spontan rakyat—karena perlawanan spontan rakyat menyimpan potensi anti dominasi imperialis—adalah sekutu sejati PRD, yang harus terus menerus diajak untuk membangun persatuan anti dominasi imperialis.
§
Pada point selanjutnya , PRD menyatakan: Namun realitasnya kita (PAPERNAS) tidak bisa lolos sendiri, dan kesempatan untuk memanen keuntungan politik-organisasi pun tetap terbuka lewat koalisi.

Secara teoritik (yang umum dan abstrak), tidak bisa dibantah bahwa taktik koalisi—bahkan (dalam hal ini) koalisi dengan kekuatan borjuis—dimungkinkan. Namun, koalisi dengan borjuis memiliki syarat-syarat situasi obyektif maupun subyektif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu: 1) ada musuh bersama yang sedang mengancam perjuangan demokrasi dan sosialisme ke depan [FPI dan kelompok-kelompok anti-komunis tidak bisa disimpulkan sebagai ancaman serius, tebukti rakyat bisa mengalahkannya saat ada upaya penghancuran (crackdown) terhadap PRD pada tahun 1996; juga rakyat bisa mengalahkannya pada saat kaum raksioner mengerahkan PAMSWAKARSA; bagaimana mungkin peluang demoktrasi liberal (sebagaimana yang disimpulkan PRD) yang lebih tebuka ketimbang sebelumnya tidak bisa dimanfaatkan untuk melawa FPI?]; 2) karena sifatnya yang momentual—lihat point pertama—maka koalisi tersebut tidak bisa diharapkan berjalan dalam jangka panjang, kecuali jika momentumnya bisa diprediksi akan panjang; 3) secara subyektif, harus ada kebebasan untuk melakukan aktifitas agitasi propganda revolusioner dan aktifitas politik partai di luar arena/kesepakatan koalisi (apa yang diistilahkan: kita punya program dan politik sendiri yang tidak boleh dikerangkeng); 4) termasuk melakukan kritik/oposisi terbuka terhadap program/tindakan politik sekutu yang mendukung imperialisme; 5) Program-program perjuangan koalisi haruslah program yang kongkrit dan spesifik—sekalipun minimum—agar mudah diterima oleh massa rakyat sekaligus mudah pula ditagih konsistensi perjuangannya. Dan yang tidak termasuk ke dalam kesepakatan platform koalisi, tentu saja boleh diwujudkan oleh kita sendiri, tanpa ikatan); 6) karena salah satu tujuan koalisi adalah memperbesar mobilisasi massa rakyat, maka sandaran utama koalisi adalah organ-organ gerakan dan perlawanan spontan rakyat. Dari kenyataan saat ini, ancaman musuh bersama belum manifes di antara partai-partai borjuis; yang ada adalah: semua partai borjuis menjadi musuh bersama rakyat. Kalaupun ada rencana koalisi Golkar-PDIP, yang bisa saja akan menghambat perjuangan rakyat kedepan, namun belum terlihat kegelisahan di antara partai borjuis lainnya untuk melakukan perlawanan secara kuat, malah yang menjadi musuh bersama partai-partai borjuis adalah PKS, sekalipun PKS juga tidak kelihatan tindakan politiknya yang membela rakyat miskin—kecuali dalam bentuk karitatif.
§
Koalisi obyektif dapat dijalankan selama masih dalam batas-batas politik yang menguntungkan bagi front persatuan. Kongkritnya, koalisi ini jangan sampai bertentangan dengan program perjuangan, harus mencerminkan persatuan dalam aspek program, struktur, dan sebagainya.

Pernyataan PRD tersebut benar. Namun jika tidak ada syarat obyektifnya, maka koalisi tersebut hanyalah menjadi keinginan subyektif, sehingga harapan agar koalisi (dengan partai/pihak borjuis) dapat berjalan sesuai dengan tujuan-tujuan perjuangan partai adalah omong kosong, apalagi dalam situasi di Indonesia saat ini tidak ada satupun partai borjuis pun—yang ada di parlemen—yang dapat disimpulkan tindakan politik-organisasinya membela kepantingan rakyat miskin, bahkan dalam program darurat/mendesak sekalipun, apalagi memperjuangkan demokrasi dan melawan dominasi imperialis.
§
Lebih lanjut PRD menetapkan syarat sekutu koalisi, yaitu: Syarat-syarat atau batasan dalam pembangunan Partai Koalisi secara prinsip: a) calon sekutu menerima platform dasar kita yaitu anti imperialisme atau ”dalam bahasa lainnya” (tanda kutip dari penulis tulisan ini, untuk menunjukkan bagaimana PRD bersilat kata); b) calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang orde baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi.

Alat ukur kesepakatan tersebut apa? Menurut juru bicara-juru bicara PRD di Sidang Presidium Nasional PAPERNAS, alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas, dalam bentuk MOU—yang, padahal, sampai sekarang, belum ada samasekali. Jika alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas—apalagi cuma obrolan antara pimpinan PRD dengan pimpinan partai borjuis—sudah bisa terbayang bahwa koalisi yang dibangun akan sangat rentan, baik kemampuan berjuangnya maupun konsistensi perjuangannya. Bandingkan koalisi dengan Gus Dur (dengan platform anti sisa-sisa Orde Baru) dan Koalisi Nasional—yang antara lain melibatkan PNBK—(dengan platform anti neoliberal). Yang paling mampu menunjukan serangan politik cukup radikal adalah koalisi dengan Gus Dur, karena situasi obyektif pada saat itu memungkinkan, yakni: adanya ancaman dari kekuatan sisa-sisa Orde Baru yang ingin merestorasi diri dalam panggung kekuasaan Indonesia. Di banyak tempat, kantor-kantor Golkar menjadi sasaran aksi massa; bahkan, di Jawa Timur, kantor Golkar dibakar massa. Sedangkan Koalisi Nasional, sekalipun ada situasi obyektif yang juga menguntungkan, yakni kemarahan rakyat atas kebijakan Megawati untuk menaikkan harga BBM, TDL, tarif telpon secara bersamaan pada awal Januari 2003, namun tidak cukup kuat serangan politiknya, bahkan sekalipun mendapat respon yang cukup baik dari media massa pada saat konferensi pers di Gedung Juang, Jakarta, saat mengumumkan terbentuknya Koalisi Nasional ini. Pada saat Vergadering Koalisi Nasinal di Tugu Proklamsi—pada saat itu PRD dan ormas-ormasnya melakukan mobilisasi secara nasional—tidak ada mobilisasi sama sekali dari PNBK maupun partai/kelompok lainnya yang tergabung dalam Koalisi Nasional, bahkan Eros Djarot sebagai Ketua Umum PNBK, juga tidak hadir. Praktis, di lapangan, yang hadir hanya massa PRD dan ormas-ormasnya, serta dukungan massa dari Komite Anti Penindasan Buruh—Front Persatuan Buruh yang justru tidak tergabung dalam Koalisi Nasional. Jika pengalaman tersebut ditarik dalam konteks sekarang: koalisi yang dicita-citakan PRD berdiri di atas landasan situasi hampa-politik, tanpa terlebih dahulu menciptakan atmosfir gerakan perlawanan, atau tanpa musuh bersama yang akan dilawan. Nasib koalisi tersebut akan jauh lebih buruk dibandingan Koalisi Nasional ataupun koalisi dengan Gus Dur. Dalam point B, dikatakan bahwa calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang Orde Baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi. Seharusnya pengertian tersebut diberikan penjabaran yang lebih rinci, agar jelas apa yang dimaksudkan oleh PRD. Jika pengertian kekuatan pokok Orde Baru adalah semata-mata Golkar, maka PPP bisa dikategorikan sebagai calon sekutu (padahal PPP juga merupakan Partai bentukan Orde Baru—hasil fusi yang dipaksakan tanpa perlawanan); atau bisa juga PKPB maupun Hanura dijadikan calon sekutu, karena selama Orde Baru, kedua partai tersebut belum ada, sekalipun pimpinan PKPB maupun Hanura adalah Orang-Orang yang memegang banyak jabatan penting selama Orde Baru. Lalu bagaimana dengan PDIP, apa kriterianya? PDIP bukan penopang utama Orde Baru, tetapi pernah memerintah dan bahkan pernah memberikan peluang menguatnya kembali Orde Baru (Golkar dan tentara) ke panggung kekuasaan politik. Bukankah kejatuhan Gus Dur adalah hasil Kolaborasi PDIP, GOLKAR, tentara, sisa-sisa Orde Baru dan Poros Tengah? Sekarang pun PDIP dan GOLKAR sedang membangun program stabilisasi politik demi kesejahteraan (ingat yang serupa dengan itu: Trilogi Pembangunan Orde Baru!) yang intensif melalui serangkaian pertemuan massal. Lalu Bagimana juga dengan Partai-partai pendukung Pemerintahan SBY-JK, baik yang sudah mendukung sejak pencalonan Sby-Jk di Pilpres 2004 seperti Partai Demokrat dan PKS maupun yang baru belakangan mendukung—dalam hal ini PBR maupun PELOPOR termasuk partai-partai yang mendukung pemerintahan SBY-JK. Artinya, kualifikasi calon sekutu yang diajukan PRD sangat tidak lengkap karena bisa mengasilkan pengertian bahwa PAPERNAS bisa berkoalisi dengan PDIP, PPP, PAN, Partai Demokrat, PKS hingga koalisi dengan PKPB maupun Hanura. Atau dengan bahasa lain: selain Golkar, semua partai bisa diajak berkoalisi. Harusnya, sejarah partai-partai dijabarkan secara rinci, termasuk sepak terjanganya di daerah, agar bisa dilihat mana partai yang ketika diajak berkoalisi dapat memberikan keuntungan bagi perjuangan rakyat miskin ke depan; dan ketika tidak ada yang memenuhi syarat, tidak perlu PAPERNAS dipaksakan untuk berkoalisi. Setelah hal tersebut dijabarkan, baru lah PRD bisa berbicara apa saja potensi keuntungan kalau PAPERNAS berkoalisi; juga harus dijabarkan apa saja potensi kerugiannya—karena secara teoritik, koalisi itu ada di ranah kompromi, sehingga ada potensi kerugian juga yang harus diantisipasi. Namun, dalam Propasal PRD, dengan yakin PRD menyampaikan potensi-potensi keuntungan yang menggiurkan seperti: bisa mempropagandakan program perjuangan melawan imperialisme beserta program-program mendesaknya, menarik unsur-unsur anti imperialis dari kalangan kaum demokrat, mengkonsolidasikan dan memajukan politik partai koalisi agar arah perjuangannya sejalan serta menguntungkan bagi perjuangan rakyat melawan imperialisme dan kaki-tangannya, serta dapat merangkul unsur-unsur maju di dalam partai koalisi, mempengaruhi—atau setidaknya menetralisir—unsur-unsur yang labil, dan mengisolir unsur-unsur yang konservatif di dalam partai koalisi. Tentu saja, secara konsepsi logika formal hal tersebut bisa dianggap ”benar” (sekalipun dalam kenyataannya tidak ada), namun jika diletakan dalam realitas kongkrit partai-partai yang ada sekarang, belum tentu semuanya bisa diwujudkan, apalagi PRD tidak menjabarkan apa saja potensi kerugian yang harus ditanggung oleh PAPERNAS saat berkoalisi.
§
Dalam penjabaran taktik, PRD memegang ”teguh” konsepsi taktik utamanya yang disebut dengan konsentrasi ideologi, politik, organisasi dalam mengerjakan koalisi elektoral di teritorial pada daerah pemilihan (dapil).

Konsepsi tersebut berangkat dari keyakinan bahwa taktik konsentrasi bisa mendorong maju koalisi—hingga sanggup menjadi alat perjuangan anti imperialisme yang efektif (dalam pengertian menjadi alternatif bagi rakyat). Rumusan tersebut sungguh menyedihkan, karena tidak berangkat dari situasi nyata, situasi kongkrit, bahwa partai-partai yang saat ini ada di parlemen sejatinya adalah partai-partai yang mendukung imperialisme. Sehingga mengharapkan adanya perubahan karakter ideologi, politik dan organisasi dari partai-partai ini, sekalipun ada PAPERNAS di dalamnya, adalah mustahil. Hal tersebut bukan permasalahan apakah calon sekutu bersedia menandatangani MOU, tetapi bagaimana karakter partai-partai tersebut, kelas-kelas (apa dalam masyarakat) yang membentuk dan menghidupka partai-partai tersebut, sehingga tidak bisa dengan gampang diberikan kesimpulan bahwa dengan MOU maka karakter partai-partai parlemen ini sudah atau akan berubah. Apalagi rencana koalisi yang sudah dikerjakan oleh DPP PAPERNAS adalah koalisi dengan PBR-PELOPOR—itu artinya akan ada perjuangan internal di partai koalisi tersebut, yakni perjuangan untuk menghadapi dua partai politik yang karakter politik kelasnya adalah pendukung imperialis (yang akan sangat berat untuk memenangkannya). Dan karena konsepsi PRD mengabaikan potensi pembangunan gerakan anti imperlisme di luar koalisi, maka bisa dipastikan perjuangan internal di partai koalisi ini akan sulit dimenangkan karena tidak ada tekanan dari gerakan massa di luar koalisi. Dalam kepentingan menjalankan taktik koalisi (dengan konsentrasi di dapil), maka langkah awal yang harus dilakukan adalah: membalikan citra PBR (yang busuk dan sektarian) menjadi PBR yang berpihak pada rakyat dan demokratik. Itulah, katanya, yang (dalam proposal PRD) menjadi perspektif kerja mendesak. Menurut PRD, itulah tugas PAPERNAS dalam partai koalisi tersebut. Namun, jika tugas tersebut (disepakati secara sepihak) oleh PAPERNAS maka, obyektifnya, PAPERNAS akan berhadap-hadapan secara langsung dengan unsur-unsur dalam partai koalisi tersebut yang, sejatinya, adalah musuh-musuh rakyat. Mana mungkin partai koalisi tersebut akan memenangkan pemilu jika penuh dengan konflik internal. Dan karena PRD mengartikan intervensi pemilu sebagai keharusan menjadi peserta pemilu, itu artinya konflik internal tersebut akan berujung pada kompromi yang merugikan rakyat. Kaitannya dengan organisasi pendukung PAPERNAS, maka tentu saja politik koalisi tersebut akan sangat merugikan karena struktur organisasi yang selama ini terbangun [dengan politik yang baik (dalam ukuran organisasi progresif)] bahkan bisa mengalami kemunduran, akan ditinggal massa yang menyeberang ke organisasi yang lebih progresif.

5. Kritikan dalam hal Organisasi
Dalam proposal PRD, pengertian partai persatuan yang dibangun ke depan dimanipulasi sebagai koalisi (yang, sebenarnya merupakan merger/peleburan). Itulah sebabnya dikatakan bentuk partai koalisi tersebut adalah fusi. Padahal, secara politik maupun organisasi, pengertian antara koalisi dengan peleburan sangat jauh berbeda. Dalam koalisi, di luar hal-hal yang telah disepakati dalam koalisi, unsur-unsur penyusun koalisi masih memiliki independensi politik dan organisasi satu dengan lainnya. Dengan demikian, jika persatuan yang dibangun adalah koalisi, maka PAPERNAS masih memungkinkan menjalankan politiknya sendiri. Namun, jika persatuan yang dibangun bermakna peleburan, maka sedari awal PAPERNAS sudah kehilangan independensinya, karena secara politik dan organisasi sudah dilebur dengan unsur-unsur yang anti rakyat, sehingga politik organisasi PAPERNAS paling banter abu-abu atau, yang paling parah, justru menjadi sama dengan politik-organisasi unsur-unsur anti rakyat tersebut. Dan, tidak perlu menunggu lebih lama lagi, wajar bila PRD kemudian menyetujui agar PAPERNAS berubah “nama”—tekanan “kata PARTAI” dihilangkan diganti dengan persatuan dan lain sebagainya. Tentu saja orang bodoh sekalipun akan memahami bahwa hal tersebut bukan sekadar pergantian nama, melainkan perubahan karakter organisasi, dari sebuah partai politik menjadi organisasi massa, merubah sebuah alat tertinggi perjuangan politik massa menjadi alat pembelajaran perjuangan massa. Hal itu oleh PRD dianggap sebagai kewajaran, karena PAPERNAS harus tetap menjadi peserta pemilu (sekalipun menghilangkan ”kata” partai) karena sebuah partai politik, menurut PRD, harus menjadi peserta pemilu sebagai wujud konkrit politik kepartaiannya, dengan kata lain tidak ada gunanya membangun partai politik jika tidak menjadi peserta pemilu. Argumen itu saja sudah menyalahi sejarah PRD sendiri yang secara legal berdiri pada tahun 1996—dengan kerja-kerja ilegal pada tahun-tahun sebelumnya—karena dalam dokumen-dokumen PRD pun banyak dijelaskan bahwa, sekalipun tujuan partai politik adalah untuk merebut kekuasaa namun, karena kepentingan rakyat yang diutamakan, maka cara menuju kekuasaan bisa bermacam-macam: bisa dengan ikut pemilu; bisa juga dengan boikot pemilu; bisa juga dengan cara-cara yang lainnya—bahkan, di banyak negeri, partai-partai politik terlibat dalam pemberontakan untuk merebut kekuasaan; juga di Indonesia, sebelum kemerdekaan, banyak partai politik yang menjalankan politik anti kompromi (non-kooperasi) dengan Belanda, sekalipun Belanda juga membuat lembaga parlemen yang disebut Volksrad. PKI, PNI, PARTINDO dan banyak partai lainnya menolak memasukan orang-orangnya ke dalam lembaga ini.

KESIMPULAN:
1. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk melakukan pembebasan (radikal) bagi dirinya sendiri dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;
2. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk membangun persatuan yang kokoh untuk membebaskan dirinya dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya;
3. Bahwa PRD telah memberikan ilusi (baca: menipu) rakyat, dengan menyimpulkan bahwa perlawanan anti imperialisme dan bonekannya di parlemen (saat ini) sangat besar peluangnya;
4. Bahwa PRD telah menghancurkan politik dan alat perjuangan alternatif rakyat, yakni PAPERNAS dan organisasi pendukungnya, dengan meleburkan diri kepada partai penindas rakyat, sehingga mempersulit perjuangan rakyat ke depannya;
5. Bahwa PRD telah menjerumuskan PAPERNAS pada GARIS POLITIK PARLEMENTARIS.
Catatan Kaki:
[1] Survey yang sekaligus bermakna pengorganisasian.
[2] Istilah TRIPANJI bisa saja diubah karena memberikan nuansa PKI; namun perubahannya tidak boleh abstrak (tidak kongkret) tidak boleh mengesankan eupimisme seperti: melindungi kekayaan alam untuk menggantikan nasionalisasi.



0

Siapa KPRM PRD?

Saya sendiri bukan bagian dari mereka. Saya sekedar simpatisan yang patah hati melihat perkembangan ini. Dari blog mereka, http:// kprm-prd.blogpot.com. Saya mendapat informasi bahwa sebenarnya Komite Politik Rakyat Miskin (KPRM)–PRD adalah sebagian PRD yang menolak menanggalkan politik rakyat miskin, dan menolak politik parlementaris—apalagi politik parlementaris-oportunis.

KPRM–PRD berdiri karena sebuah paksaan dari kekuatan otoritas-mayoritas Pimpinan PRD yang ke¬mudian menjadi keputusan resmi internal partai. Mereka mendesakan terjadinya perpecahan/pembelahan dalam partai atas posisi politik pada pemilu 2009. Otoritas-mayoritas pimpinan PRD lebih memilih melakukan politik parlementaris yang opurtunis. Sebaliknya, mereka (minoritas) yang mendukung politik 'membangun gerakan rakyat' justru diusir dari partai.

Sesungguhnya Politik (alternatif) Rakyat Miskin adalah posisi politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) sejak awal berdirinya. Ini adalah politik yang meletakkan perubahan dan kemenangan rakyat dilandaskan pada kekuatan sendiri, berdasar pada kekuatan gerakan.

Posisi politik itu lah yang sekarang ditanggalkan oleh sebagian Pimpinan PRD—yang menyebut diri sebagai kaum mayoritas dalam PRD—seiring dengan kepentingan mereka untuk meleburkan diri (secara ideologi, politik, organisasi) ke dalam persatuan pemilu bersama PBR. Yang notabene PBR sendiri merupakan sebuah partai reformis gadungan, sekaligus sekutu pemerintahan agen imperialis. Dan itu dilakukan pimpinan (mayoritas) PRD demi mendapat kesem¬patan masuk parlemen.

Sekarang, posisi tidak demokratik atas pembelahan yang dilakukan para pimpinan (mayoritas) PRD, sudah dimengerti sebagai kelaziman yang harus mereka lakukan sebagai konskuensi posisi politik oprtunisnya.

Selanjutnya, yang lebih penting bagi KPRM-PRD, adalah berposisi nyata dalam pembangunan politik (alternatif) rakyat miskin bersama kekuatan gerakan rakyat lainnya. Namun demikian, bukan berarti KPRM-PRD berlepas tangan terhadap kehancuran politik kerakyatan PRD. Seiring dengan dinamika pembangunan gerakan rakyat, kawan-kawan di KPRM-PRD akan tetap melanjutkan dan menguatkan perjuangan internal agar dapat mengembalikan PRD sebagai alat perjuangan politik rakyat miskin (baca: mengembalikan PRD pada garis ideologinya).

Terhadap situasi ekonomi-politik sekarang, kaum gerakan dituntut untuk sanggup me¬neliti, menyimpulkan dan mengambil tanggung jawab. Rakyat semakin hari bertambah gamblang mengerti atas bertumpuknya persoalan yang nyata mereka hadapi. Semakin terbuka pula bagi kaum gerakan untuk menjelaskan kaitan persoalan sehari-hari rakyat dengan jaring penindasan imperialisme, bahkan bisa melampui atau menembus beribu ilusi yang terus dipertebal demi menutupi ketertundukan penguasa terhadap kepentingan imperialisme. Sekaligus terdapat harapan perubahan sejati bagi rakyat, bila kekua¬tan rakyat sendiri (dengan kaum gerakan di dalamnya) sanggup mencipta jaring perlawa¬nan rakyat, yang luas dan semakin menyatu.

Politik rakyat miskin dalam wujud nyatanya adalah perluasan dan penyatuan perlawanan rakyat, penyatuan mobilisasi-mobilisasi rakyat dengan mengusung tuntutan dan jalan keluar persoalan ekonomi-politik rakyat. Mobilisasi ini harus terus meluas dan mengisi setiap ajang politik rakyat, dan pemilu hanya lah salah satunya. Namun apapun ekspresi politik dari gerak politik rakyat miskin, hal utama yang tidak boleh dikompromikan ada¬lah posisi untuk TIDAK dicampuri, TIDAK disubordinasi atau lepas dari pengaruh, dan (apalagi) TIDAK boleh dileburkan, dengan kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa ORBA dan reformis gadungan. Ya, politik rakyat miskin adalah politik altenatif (tandingan) yang berbasiskan pada kekuatan perlawanan rakyat sendiri, dengan prinsip non-kooperasi dan non-kooptasi dalam berhadapan dengan musuh-musuh rakyat.

Sesulit apapun, pembangun kekuatan perlawanan rakyat harus tetap dikerjakan, harus diatasi dan tidak boleh dihindari. Metode mobilisasi tiga bulanan adalah salah satu upaya yang disodorkan, dan terus bisa dikembangkan, untuk memperluas kekuatan perlawanan rakyat, membangun kesadaran politik, sekaligus mewujudkannya dalam metode perjuangan rakyat: menuntut dengan mobilisasi massa. Atas nama kemudahan-kemudahan untuk berkuasa (dengan alasan bisa melakuakan revolusi dari atas), termasuk menjadi parle¬mentaris-oportunis, sejatinya sudah menanggalkan arah sejati perjuangan rakyat, sudah melepaskan diri dari politik kerakyatan.©

0

Puisi Widji Tukul: BUKAN KATA BARU

ada kata baru kapitalis, baru? Ah tidak, tidak
sudah lama kita dihisap
bukan kata baru, bukan
kita dibayar murah
sudah lama, sudah lama
sudah lama kita saksikan
buruh mogok dia telpon kodim, pangdam
datang senjata sebataliyon
kita dibungkam
tapi tidak, tidak
dia belum hilang kapitalis
dia terus makan
tetes ya tetes tetes keringat kita
dia terus makan

sekarang rasakan kembali jantung
yang gelisah memukul-mukul marah
karena darah dan otak jalan
kapitalis
dia hidup
bahkan berhadap-hadapan
kau aku buruh mereka kapitalis
sama-sama hidup
bertarung
ya, bertarung
sama-sama?
tidak, tidak bisa
kita tidak bisa bersama-sama
sudah lama ya sejak mula
kau aku tahu
berapa harga lengan dan otot kau aku
kau tahu berapa upahmu
kau tahu
jika mesin-mesin berhenti
kau tahu berapa harga tenagamu
mogoklah
maka kau akan melihat
dunia mereka
jembatan ke dunia baru
dunia baru ya dunia baru.
-tebet 9/5/1992-



0

Download PCMAV 1.6 Update Build 6

Antivirus PCMAV 1.6 kembali mengeluarkan update terbarunya, Update Build 6. Versi ini telah dilengkapi dengan pengenal 10 varian virus baru. Sehingga total ada 2.126 plus 10 virus.

untuk melakukan update, cukup download file PCMAV.vdb dan simpan ke dalam folder dimana PCMAV anda berada. Ditimpa saja file update yang lama. Setelah PCMAV dijalankan maka akan otomatis ter-update.

• PCMAV.vdb (Build 6) Download

Bagi yang belum mengenal PCMAV 1.6, sangat disarankan untuk menggunakannya. Disamping cukup handal, antivirus ini juga sangat praktis. Sizenya secara keseluruhan tidak lebih dari 2MB, sangat mumpuni untuk disimpan di flash disk. Dan pengaktifannya tanpa perlu diinstall, cukup di copy paste. Terlebih lagi produk keluaran majalah PC Media ini seratus persen produk lokal. Tapi bukan berarti kualitasnya buruk, justru sebaliknya. PCMAV dibuat untuk lebih cepat mengatasi virus-virus yang umumnya beredar di Indonesia, baik jenis lokal atau asing.
Walau tidak dinyatakan bersifat freeware, tapi siapapun bebas menyebarluaskan, asal secara lengkap dan utuh. Itu juga salah salah satu alasan kenapa program ini sangat direkomendasikan.

• PCMAV 1.6 + Update Build 6 Download

Semoga bermanfaat. Tolong beri info kalau linknya gagal.





0

Puisi Widji Tukul: KUBURAN PURWOLOYO

disini terbaring
mbok cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya



di sini terbaring
pak pin
yang mati terkejut
karena rumahnya digusur
di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji
di sini kubaca kembali: sejarah kita belum berubah!
jagalan, kalangan
solo, 25 oktober 1988


0

Download Lagu Internationale

Lagu Internationale diciptakan oleh Eugene Pottier pada tahun 1871 untuk merayakan terbentuknya Komune Paris. Itu adalah untuk yang pertama kalinya klas buruh berhasil merebut kekuasaan negara ke dalam genggaman mereka. Kekuasaan yang termanifestasi dalam komune tersebut merupakan bentuk pemerintahan yang paling demokratis dibanding pemerintahan manapun


Para perwakilan komune dipilih dengan satu syarat mutlak, mereka harus siap diberhentikan kapanpun oleh massanya, dan besaran gaji mereka disesuaikan dengan upah pekerja biasa. Komune di Paris adalah sebuah badan pekerja, bukan tempat cuap-cuap omong kosong layaknya orang-orang di parlemen. Pembagian fungsi legislasi dan eksekusi di dalam negara telah dihapuskan.
Sayang komune ini hanya mampu bertahan tiga bulan (Maret-Mei 1871). Pemerintah borjuasi Prancis menghancurkannya lewat serangan militer yang brutal. Walau begitu, hingga sekarang komune ini telah menginspirasi jutaan pekerja di seluruh dunia dalam menentang kapitalisme.

Download lagunya:
By Sheffield Socialist Choir (3MB)


0

Revolusi Rusia 1917

REVOLUSI RUSIA 1917

1.SITUASI DI DALAM NEGERI SETELAH REVOLUSI FEBRUARI. PARTAI BANGKIT DARI BAWAH TANAH DAN MELANCARKAN KERJA-KERJA POLITIK SECARA TERBUKA. LENIN TIBA DI PETROGAD. THESIS APRIL YANG DIAJUKAN LENIN: “KEBIJAKAN PARTAI BAGI PERALIHAN MENUJU REVOLUSI SOSIALIS.”




Rangkaian perkembangan peristiwa dan pembentukan Pemerintahan sementara, memberikan bukti-bukti baru tentang ketepatan garis Bolshevik. Semakin jelaslah bahwa Pemerintahan sementara tidak sungguh-sungguh memihak rakyat, bahkan sebaliknya, malah memusuhi rakyat. Tidak berpihak pada perdamaian, tetapi justru pada peperangan. Dan yang lebih penting lagi, Pemerintahan sementara tidak bermaksud dan memang tidak sanggup untuk memberikan: perdamaian, tanah dan roti kepada rakyat. Dengan demikian, kerja-kerja yang dilancarkan oleh kaum Bolshevik dalam mendidik rakyat, telah menghasilkan lahan subur yang berbuah.

Sementara kaum buruh dan prajurit-prajurit meruntuhkan pemerintahan Tsar, sambil menghancurkan akar-akar maupun sisa-sisa tradisi peninggalan monarki Tsar; Pemerintahan sementara justru hendak mempertahankan monarki lama tersebut. Pada tanggal 2 Maret 1917, Pemerintahan sementara secara rahasia membentuk komisi yang menugaskan Guchov dan Shulgia untuk berangkat menemui Tsar. Pihak borjuasi menghendaki agar kekuasaan Pemrintahan Sementara dialihkan pada saudara Tsar Nicholas Romanov sendiri, yakni Michael. Namun dalam sebuah pertemuan dengan para buruh rel kereta api, ketika Guchov mengakhiri pidatonya dengan ucapan, “Hidup Kaisar baru Michael!”…para buruh justru menuntut agar Guchov segera dikejar dan ditangkap. Jelaslah bahwa para buruh tidak akan memperkenankan pemulihan kekuasaan yang lama.

Sementara para buruh dan tani mengucurkan darah dan keringat untuk menyokong revolusi, dan menghentikan peperangan. Sementara rakyat berjuang untuk roti dan tanah, dan menuntut patokan-patokan yang tegas untuk mengakhiri kekacauan ekonomi; Pemerintahan sementara justru menutup telinganya terhadap tuntutan-tuntutan vital rakyat. Pemerintahan yang terbentuk dari perwakilan-perwakilan penting kaum pemilik modal dan tuan-tuan tanah ini, tidak sungguh-sungguh punya itikad untuk memenuhi tuntutan kaum tani agar tanah dibagikan bagi mereka. Pemerintah juga tidak sanggup menyediakan roti untuk rakyat pekerja. Karena untuk dapat melaksanakannya, mereka harus berbenturan dengan kepentingan distributor-distributor (besar) gandum. Dengan demikian Pemerintah juga harus mendapatkan gandum dari para tengkulak dan distributor besar tersebut, dengan cara apapun juga. Jadi Pemerintah juga memang tidak berani menempuh langkah-langkah ini, karena pemerintah sendiri terikat dengan kepentingan klas-klas tersebut. Pemerintah Sementara juga tidak berniat menghentikan peperangan, karena Pemerintah Sementara terikat pada kepentingan kekuatan-kekuatan imperialis Inggris dan Prancis. Bahkan dengan menarik manfaat dari revolusi yang baru bergolak, Pemeraintah Sementara bermaksud melibatkan diri secara lebih aktif dalam peperangan antara kekuatan-kekuatan imperialis ini; dengan sasaran untuk mencaplok Konstantinopel, kawasan Teluk dan wilayah Galicia.

Menjadi jelas, betapa kepercayaan rakyat kepada kebijakan-kebijakan Pemerintahan sementara menjadi semakin luntur dan tak boleh dipertahankan lebih lama lagi. Jelaslah pula bahwa kekuasaan ganda (dual power) yang telah tampil sejak Revolusi Februari tidak dapat dipertahankan terus menerus. Karena pada rangkaian peristiwa yang terus bergulir, menuntut pengkonsentrasian kekuasaan pada satu pilihan: Pemerintahan sementara atau Soviet (Sovyet-Sovyet).

Memang benar bahwa kebijakan kompromis yang ditawarkan oleh kaum Menshevik dan kaum Sosialis Revolusioner masih mendapatkan dukungan dari sejumlah kalangan massa. Memang masih ada sejumlah buruh—bahkan sejumlah besar tani dan prajurit—yang tetap mempercayai bahwa: “Majelis Konstituante akan segera dibentuk, dan segala sesuatunya akan kembali dengan jalan damai.” Dan masih ada juga yang beranggapan bahwa perang antar kekuatan imperialis (yang melibatkan negeri Rusia); perlu didukung demi “membela tanah air” atau demi “patriotisme”. Lenin menyebut orang-orang yang begitu naif dalam kekeliruannya tersebut, sebagai para defensivis. Orang-orang tersebut masih menganggap bujukan dan kebijaksanaan kaum Menshevik dan kaum Sosialis Revolusioner sebagai sesuatu yang menjanjikan. Namun jelaslah bahwa bujukan dan janji-janji belaka tak akan dapat bertahan terlampau lama,… Seturut dengan perkembangan berbagai peristiwa maupun sepak terjang Pemerintahan sementara sendiri dari hari ke hari; semakin membuktikan ke rakyat watak sesungguhnya dari pemerintahan ini. Dan juga watak kompromis dari kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner yang mendukung kebijakan mengulur-ulur waktu yang membodohi rakyat.

Pemerintahan sementara tidak sekedar hanya membatasi dirinya dengan melakukan tindakan-tindakan terselubung, guna menghambat pergerakan revolusioner massa.. lebih jauh lagi, Pemerintahan sementara melakukan berbagai upaya : untuk melancarkan pukulan-pukulan terbuka terhadap gerakan demokratik—dengan dalih-dalih ‘demi stabilitas”, “untuk memulihkan ketertiban”, ”demi menegakkan disiplin”—seruan-seruan ini lajimnya ditujukan kepada prajurit-prajurit yang memihak rakyat. Semua upaya ini tidak lain untuik menggiring revolusi ke arah yang berkesesuaian dengan kepentingan borjuasi. Namun segala upaya diatas lebih banyak menemukan kegagalan. Dan rakyat dengan penuh antusias mengekspresikan hak-hak sipil mereka yang selama ini selalu dibelenggu. Hak-hak tersebut diantaranya kebebasan untuk mengemukakan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berorganisasi, bahkan kebebasan untuk berdemonstrasi. Kaum buruh maupun prajurit-prajurit yang populis, berikhtiar untuk memanfaatkan sepenuh-penuhnya hak-hak demokratik yang baru direbut ini; dalam rangka untuk mengambil peran aktif dalam kehidupan politik (yang juga berarti berupaya untuk mendapatkan pemahaman yang ilmiah atas situasi politik yang tengah bergolak, dan menarik kesimpulan/menentukan langkah-langkah yang harus diambil).

Setelah Revolusi Februari, pengorganisasian yang dilakukan oleh Partai Bolshevik (yang selama ini melakukan kerja-kerja secara ilegal, di bawah kondisi-kondisi represif kekuasaan Tsar); kini bangkit dari bawah tanah dan mulai melakukan kerja-kerja politik dan organisasional secara terbuka. Keanggotaan Partai Bolshevik pada waktu itu tidak lebih dari 40.000 atau 45.000 orang. Namun mereka semua adalah revolusioner-revolusioner gigih yang berjuang dengan prinsip membaja. Komite-komite partai direorganisasi ke dalam prinsip sentralisme demokrasi.

Ketika partai memulai kehadirannya secara legal, perbedaan-perbedaan pendapat di antara jajran-jajaran partai menjadi terbuka pula. Kamenev dan sejumlah buruh dari Moskow—misalnya Rykov, Buvnov dan Nogin—mengambil posisi yang “separuh Menshevik” (dengan memberikan dukungan bersyarat pada Pemerintahan sementara dan pada kebijakan kaum kaum defensivis). Stalin yang baru saja pulang dari pengasingan—Molotov dan lain-lainnya, bersama-sama dengan mayoritas anggota partai—mendukung kebijakan untuk tidak mempercayai Pemerintahan sementara, menentang ajakan kaum defensivis, dan menyerukan perjuangan aktif bagi perdamaian dengan menentang peperangan imperialis. Beberapa anggota partai mengalami kebimbangan akibat kemunduran orientasi politiknya, maupun akibat tahun-tahun yang panjang di penjara/di tempat pembuangan. Ketidakhadiran pemimpin Partai –Lenin- memang sangat dirasakan juga.

Pada tanggal 3 April (atau tanggal 16 April menurut tanggalan standar) tahun 1917, setelah menjalani masa yang panjand di pembuangan, Lenin kembali ke Rusia. Kembalinya Lenin memiliki arti yang sangat penting bagi Partai dan revolusi.

Sementara berada di Swiss —begitu mendengar khabar pertama tentang revolusi— Lenin menuliskan suratnya (yang berjudul “Surat dari Kejauhan” [Letters From Afar] kepada partai dan klas buruh di Rusia. Dalam suratnya Lenin mengatakan:

“Kaum buruh. Engkau telah mempergelarkan kepahlawanan proletar yang mengagumkan —kepahlawanan rakyat— dalam perang saudara melawan kekuasaan Tsar. Namun Engkau sekalian masih harus mempergelarkan kedisiplinan organisasi— organisasi klas proletar bersama segenap rakyat—dalam rangka mempersiapkan jalan bagi kemenanganmu dalam tahapan revolusi yang kedua”. (Lenin, Karya-Karya terseleksi/Selected Works, Edisi Inggris, Moscow 1947, Jilid I, halaman 741).

Lenin tiba di Petrograd pada malam 3 April 1917. Ribuan buruh, prajurit-prajurit, kelasi-kelasi/awak-awak kapal berhimpun memenuhi stasiun kereta api Finland (maupun di sekitar taman stasiun) untuk menyampaikan solidaritas dan ucapan selamat datang mereka. Antusiasme mereka ketika melihat Lenin berada dalam kereta, sungguh tidak tergambarkan. Mereka berarak-arakan sambil menggendong Lenin di bahu mereka, sampai ke ruang tunggu utama stasiun. Di situ perwakilan kaum menshevik—Chkeidze dan Skobelev—menyampaikan pidato "penyambutan” atas nama Soviet Petrograd; dalam kesempatan yang sama mereka ‘mengekspresikan harapan bahwa Lenin akan dapat menemukan “bahasa yang sama” dengan mereka. Namun Lenin tidak berhenti dan menunggu sampai pidato mereka berakhir; sambil menerobos ke luar, ia menyeruak ke tengah-tengah massa buruh dan prajurit yang menantikannya di lapangan. Segera setelah berdiri di atas kenderaan besi’ ia menyampaikan pidato legendarisnya, dengan menyerukan pada massa agar berjuang bagi kemenangan Revolusi Sosialis. “Hidup Revolusi Sosialis!”. Demikianlah pekikan yang dilontarkannya untuk menutup pidato pertamanya setelah tahun-tahun yang panjang di pembuangan.

Sekembalinya di Rusia, Lenin melibatkan dirinya secara ketat dalam kerja-kerja revolusioner. Hari yang kedua setelah kedatangannya, ia menyampaikan laporan berkenaan dengan persoalan perang dan revolusi; pada rapat Partai Bolshevik. Dan kemudian Lenin menyampaikan ulang thesis-thesis dari laporannya tersebut dalam pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan kaum Menshevik maupun Bolshevik. Di sinilah Lenin menyampaikan Thesis Aprilnya yang terkenal. Disini Lenin menyajikan garis revolusioner yang jelas bagi Partai dan Klas Buruh; sehubungan dengan peralihan dari Revolusi Borjuis ke Revolusi Sosialis.

Thesis Lenin memiliki arti yang sangat penting bagi revolusi dan kerja-kerja partai. Revolusi merupakan momentum pembalikan dalam kehidupan sebuah negeri. Dalam kondisi-kondisi perjuangan baru yang menyertain penggulingan kekaisaran Tsar… Partai membutuhkan sebuah orientasi baru –untuk berderap maju dengan penuh percaya diri—menapaki jalan baru. Thesis Lenin menyediakan orientasi ini bagi Partai.

Thesis April Lenin telah membentangkan sebuah rancangan canggih di hadapan partai, mengenai pelaksanaan proses peralihan dari Revolusi Demokratik Borjuis ke Revolusi Sosialis: dari tahapan yang revolusi pertama menuju ke ke tahapan yang kedua, yakni tahapan Revolusi Sosialis. Sesungguhnyalah, seluruh rangkaian sejarah Partai merupakan persiapan-persiapan bagi pelaksanaan tugas agung ini. Menengok kembali pada kurun tahun 1905-an, Lenin telah menyampaikan hal ini dalam pamfletnya yang berjudul Dua Taktik Kaum Sosial Demokrasi dalam Revolusi Demokratik (Two Tactics of Social Democracy in The Democratic Revolution)… bahwa setelah penggulingan kekuasaan Tsar, klas proletar harus terus maju untuk memperjuangkan Revolusi Sosialis. Hal baru dalam Thesis ini, adalah bahwa Thesis ini memberikan rancangan kongkrit dan tepat secara teoritik, bagi tahapan awal peralihan meunju ke revolusi Sosialis.

Tahapan-tahapan peralihan (transisi) di bidang ekonomi adalah: nasionalisasi tanah dan penyitaan terhadap kepemilikan atas tanah-tanah luas (estate), penggabungan seluruh bank ke dalam sebuah bank nasional (di bawah kontrol perwakilan-perwakilan buruh dalam Soviet) dan penegakan kontrol atas produksi sosial maupun pendistribusian barang-barang.

Dalam bidang politik, Lenin mengusulkan peralihan dari republik parlementer ke republik Soviet (Republik Sovyet-Sovyet). Hal ini merupakan tahap penting—yang lebih maju—dalam teori dan praktek Marxisme. Sejauh ini, para teoritisi Marxis selalu menganggap bahwa republik parlementer merupakan bentuk terbaik bagi peralihan/transisi menuju Sosialisme. Kini Lenin mengajukan usul untuk menggantikan republik parlementer dengan republik Soviet—sebagai bentuk yang paling cocok bagi pengorganisasian politik masyarakat—dalam periode transisi dari kapitalisme ke sosialisme.


“Gambaran spesifik tentang situasi di Rusia saat kini”, demikiian pernyataan thesis tersebut, “adalah bahwa situasi sekarang ini merupakan transisi (peralihan) dari tahapan pertama revolusi. Sebuah tahapan yang masih menempatkan kekuasaan di tangan borjuasi (berkenaan dengan organisasi dan kesadaran klas proletariat yang masih belum matang)…. Tahapan pertama tadi harus dilanjutkan menuju tahapan kedua, yang menempatkan kekuasaan di tangan kaum proletariat dan lapisan termiskin kaum tani”. (Lenin, Karya-Karya Terseleksi, Jilid II, Halaman 18).

Dan selanjutnya:
“Yang kita butuhkan bukanlah sebuah republik parlementer. Karena pemakaian sebuah republik palementer setelah terbentuknya Soviet dengan perwakilan-pewrwakilan buruhnya akan akan merupakan sebuah langkah mundur. Sehingga yang tepat adalah republik Soviet—dengan perwakilan-perwakilan Buruh, Tani, Pekerja-Pekerja Agraria—yang meliputi seluruh negeri dari atas ke bawah (Karya-Karya Terseleksi, Jilid II, Halaman 18).

Di bawah pemerintahan baru—Pemerintahan sementara—perang kaum imperialis tetap dilanjutkan, adalah tugas Partai untuk menjelaskan kepada massa dan menunjukkan kepada mereka …. Bahwa sampai kaum borjuis dapat ditumbangkan, akan merupakan sesuatu yang mustahil untuk mengakhiri peperangan dengan perdamaian sejati yang demokratik.

Sehubungan dengan Pemerintahan sementara, Lenin menyerukan slogan: “Tak ada dukungan bagi Pemerintahan sementara!”

Lebih lanjut lagi Lenin menegaskan pada Thesisnya, bahwa Partai kita masih merupakan minoritas dalam Soviet yang sudah terbentuk. Bahwa Soviet telah didominasi oleh kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner (yang merupakan sarana bagi borjuasi untuk mempengaruhi klas proletariat).

Sehingga tugas partai tercakup dalam hal-hal sebagai berikut:
“Harus dijelaskan kepada massa luas bahwa Soviet dengan perwakilan-perwakilan buruhnya adalah satu-satunya bentuk yang mungkin bagi pemerintahan revolusioner. Dan karenanya tugas kita adalah …(selama pemerintahan ini masih tunduk pada pengaruh borjuasi) untuk melancarkan penjelasan yang sabar, sistematis dan konsisten….atas kekeliruan-kekeliruan mereka dalam menetapkan taktik, dan juga penjelasan khususnya untuk mengadaptasikan kebutuhan-kebutuhan praktis massa. Selama kita tetap merupakan minoritas, kita harus tetap melancarkan kerja-kerja untuk memblejeti dan mengecam kesalahan-kesalahan yang terjadi. Sementara pada saat yang sama kita menyerukan keharusan untuk mengalihkan kekuasaan negara dalam keseluruhannya kepada Soviet dengan Perwakilan Buruh, Tani dan seterusnya….(Lenin, Karya-Karya Terseleksi, Edisi Rusia, Jilid XX, halaman 88).

Hal ini tidak berarti Lenin sedang menyerukan penumbangan Pemerintahan sementara sekarang juga. Tidak! Sementara masih mendapatkan kepercayaan dari Soviet, Lenin tidak menyerukan penggulingan Pemerintahan sementara pada saat itu juga. Nmun yang dimaksudkan oleh Lenin adalah; lewat kerja-kerja yang memberikan perspektif penerangan dan penjelasan (termasuk rekruitmen yang luas); Lenin menyerukan agar kita menjadi mayoritas di Soviet tersebut. Dengan demikian dapatlah dilakukan perubahan kebijakan Soviet; dan Soviet itu kebijakan dan komposisi pemerintah dapat diubah pula. Inilah alur damai dalam perkembangan revolusi.

Lebih lanjut lagi Lenin menyerukan bahwa "jubah yang telah ternoda” harus ditanggalkan. Maksudnya, bahwa partai tidak perlu lagi menyebut dirinya sebagai Partai Sosial Demokratik. Partai-partai dalam Internasional Kedua dan kaum Menshevik di Rusia juga menyebut dirinya sebagai Sosial Demokrat. Sebutan ini telah ternoda dan dipermalukan oleh sepak terjang kaum oportunis, maupun para pengkhianat Sosialisme. Lenin mengusulkan agar Partai Bolshevik menyebut dirinya sebagai Partai Komunis. Ini adalah nama yang diberikan Marx dan Engels bagi partai mereka. Nama ini secara ilmiah memang tepat, karena tujuan final dari Partai Bolshevik memang untuk mencapai komunisme. Dari sistem masyarakat kapitalisme—umat manusia hanya dapat mencapai Komunisme—melalui sosialisme: yakni kepemilikan bersama atas alat produksi, dan pendistribusian produk-produk sesuai dengan porsi kerja yang dilaksanakan oleh tiap orang. Lenin menegaskan bahwa dengan demikian Partai kita akan menunjukkan wataknya yang sejati, dengan maxim/prinsip yang jelas: “dari tiap orang sesuai dengan kemampuannya; bagi tiap orang sesuai dengan kebutuhannya”.

Sebagai penutup atas Thesisnya Lenin mengiumandangkan "teriakan perang” atas borjuasi, kaum Menshevik maupun Sosial Revolusioner.

Kaum Menshevik sendiri kemudian mengeluarkan seruan kepada kaum buruh yang diawali ndengan peringatan: “Bahwa revolusi sedang berada di tengah-tengah bahaya”. Bahaya tersebut—seturut dengan pendapat kaum Menshevik—adalah pada fakta bahwa kaum Bolshevik telah memajukan tuntutan bagi perebutan kekuasaan, atas perwakilan Buruh dan Prajurit dalam Soviet.

Dalam surat kabarnya—Yedinstvo (Persatuan)—Plekhanov menuliskan sebuah artikel yang menggambarkan pidato Lenin sebagai sebuah “pidato yang penuh amarah”. Plekhanov mengutip komentar seorang anggota Menshevik yang bernama Chkheidze, yang berkata: “Lenin sendirilah yang akan tetap tertinggal diluar revolusi, dan kita akan melangkah dengan jalan kita sendiri”.

Pada tanggal 14 April 1917 diselenggarakan Konferensi Kota Partai Bolshevik I Petrograd. Konferensi ini menyepakati thesis-thesis Lenin, dan berketetapan untuk menjadikan thesis tersebut sebagai landasan kerja mereka. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi organisasi-orgsanisasi lokal dalam tubuh partai, untuk mengikuti thesis lenin. Keseluruhan Partai—dengan pengecualian beberapa individu semacam Kamenev, Rykov dan Pyatakov—menerima thesis-thesis Lenin dengan sambutan yang antusias.


2.AWAL KRISIS DALAM PEMERINTAHAN SEMENTARA. KONFERENSI PARTAI BOLSHEVIK PADA BULAN APRIL.
Sementara kaum Bolshevik melakukan segala persiapan yang dipandang perlu bagi gerak revolusi yang lebih maju lagi; Pemerintahan sementara justru tetap menekan rakyat. Pada tanggal 18 April, Milyukov (Menlu Pemerintahan sementara) menyampaikan amanat kepada negeri-negeri Sekutu Rusia bahwa: “Seluruh rakyat berkeinginan untuk melanjutkan Perang Dunia, sampai kemenangan menentukan berhasil kita raih. Dan bahwa Pemerintahan sementara berniat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang perlu terhadap sekutu-sekutu kami”.

Dengan demikian Pemerintahan sementara menundukkan dirinya di hadapan perjanjian-perjanjian perang yang pernah dibuat oleh Tsar. Yang artinya adalah kesediaan untuk menumpahkan lebih banyak darah rakyat lagi, sampai kekuartan-kekuatan imperialis merasa puas dengan perluasan kekuasaan dan kemenangan-kemenangannya.

Pada tanggal 19 April 1917, pernyataan ini (“amanat Milyukov”) tersebar dan terdengar oleh kalangan buruh dan prajurit-prajurit. Keesokan harinya Komite Sentral Partai Bolshevik melancarkan seruan kepada massa agar memprotes kebijakan imperialis yang diambil oleh Pemerintahan sementara. Dari tanggal 20-21 April (atau 3-4 Mei) 1917, tidak kurang dari 100.000 buruh dan prajurit—yang terdorong oleh kemarahan atas pernyataan Milyukov—berhimpun dalam aksi demonstrasi. Panji-panji yang diusung oleh massa meneriakkan tuntutan: “Bongkar Perjanjian Rahasia!”, “Hentikan Peperangan”, “Segenap kekuasaan bagi Soviet” (All Power To The Soviets!”). Ratusan ribu buruh dan prajurit itu berpawai dari pinggiran kota menuju pusat keramaian ibu kota, tempat kedudukan Pemerintahan sementara. Di beberapa sudut perkotaan terjadi bentrok dengan para pendukung borjuasi.

Salah seorang juru bicara utama kaum kontra-revolusioner yakni Jenderal Kornilov, menghendaki agar aksi massa tersebut dihadapi dengan kekerasan. Bahkan ia telah mengeluarkan instruksi untuk segera menembak mati massa rakyat yang tengah berpawai tersebut. Namun jajaran tentara bawahannya tidak ada yang mematuhi instruksi tersebut.

Selama berlangsungnya demonstrasi tersebut,--sekelompok kecil anggota Komite Partai Kota Petrograd (yakni Bagdatyev ,Cs)—menyelipkan tuntutan dan slogan untuk menggulingkan Pemerintahan sementara. Komite Sentral Partai Bolshevik mengecam keras tingkah laku para petualang “kiri” tersebut. Bukan itu saja, slogan tersebut malah menghambat/mempersulit Partai—dalam upaya-upayanya memenangkan dukungan mayoritas dalam Soviet—dan yang terutama adalah : menyimpang dari garis Partai! (yang menekankan bahwa tahapan perkembangan revolusi pada saat ini, masih harus dijalankan secara damai).

Apapun juga momen tanggal 20-21 April 1917 menandai awal krisis yang parah dari Pemerintahan sementara. Peristiwa ini juga menandai keretakan yang serius pertama sehubungan dengan kebijakan kompromistis kaum Menshevik dengan Sosial Revolusioner.

Pada tanggal 2 Mei 1917—dibawah tekanan keras tuntutan massa—Milyukov dan Guchov diberhentikan dari jabatannya dalam Pemerintahan sementara. Dengan demikian dimulailah pembentukan Pemerintahan (koalisi) Sementara. Pemerintahan sementara hasil koalisi ini, menambahkan perwakilan-perwakilan baru di dalamnya; antara lain: perwakilan-perwakilan borjuasi, Menshevik yakni Skobelev dan Tsereteli) maupun Sosialis Revolusioner (Chernov, Kerensky,dll).

Selanjutnya, kaum Menshevik yang pada tahun 1905 mengeluarkan larangan—bagi perwakilan-perwakilan Partai Sosial Demokratik—untuk mengambil bagiand dalam Pemerintahan sementara yang revolusioner… Sekarang mereka malah memperbolehkan perwakilan-perwakilan kaum Menshevik untuk mengambil bagian dalam Pemerintahan sementara yang kontra-revolusioner. Dengan demikian secara sadar kaum Menshevik dan kaum Sosialis Revolusioner telah mencampakkan diri mereka sendiri dalam kubu borjuasi yang kontra-revolusioner.

Pada tanggal 24 April 1917 diselenggarakan konferensi ke tujuh Partai Bolshevik. Untuk pertama kalinya sejak didirikan, Konferensi Partai Bolshevik boleh diselenggarakan secara terbuka. Dalam sejarah Partai, penyelenggaraan konferensi ini memiliki arti penting yang setara dengan dengan sebuah Kongres Partai. Konferensi bulan Ap[ril yang meliputi segenap perwakilan Rusia ini, memperlihatkan bahwa partai telah berkembang sedemikian pesat, melampaui perhitungan-perhitungan yang telah dibuat selama ini. Konferensi dihadiri 133 delegasi dengan hak pilih dan 18 orang delegasi dengan hak bicara, namun tanpa hak pilih. Mereka ini semua mewakili 80.000 anggota solid partai. Konferensi ini melakukan pembahasan dan penetapan atas garis Partai, berkenaan dengan semua persoalan penting tentang perang dan revolusi antara lain situasi politik yang berlaku saat ini, tentang peperangan itu sendiri, tentang Pemerintahan sementara, tentang Soviet , tentang persoalan-persoalan agraria,tentang persoalan kebangsaan, dan lain-lain.

Dalam laporannya, Lenin memformulasikan prinsip-prinsip yang telah dikedepankannya dalam Thesis April. Tugas Partai adalah untuk mengefektifkan transisi/peralihan dari tahapan pertama revolusi…."Yakni dari tahapan pertama yang menermpatkan kekuasaan di tangan borjuasi--Menuju tahapan kedua, yang menempatkan kekuasaan di tangan proletariat dan lapisan termiskin dari kaum tani" (Lenin). Rangkaian perkembangan yang perlu dipersiapkan oleh partai adalah untuk menyediakan syarat-syarat bagi revolusi Sosialis. Tugas mendesak Partai, menurut Lenin tercermin dalam slogan: "Segenap kekuasaan bagi Soviet!".

Slogan "Segenap kekuasaan bagi Soviet!" mengandung artoi bahwa adalah sebuah keharusan untuk mengakhiri kekuasaan ganda yang masih berlangsung sampai saat ini. Yakni, kekuasaan Pemerintahan Sementara di satu pihak dan dengan kekuasaan Soviet di pijhak lain. Keharusan untuk mengambil alih segenap kekuasaan bagi Soviet, dan dengan demikian menendang keluar perwakilan tuan-tuan tanah dan para p[emilik modal dari organ-organ pemerintahan.

Konferensi itu sendiri berhasil memutuskan bahwa satu tugas terpenting dari Partai adalah: Memberikan penjelasan yang tak kenal lelah atas fakta bahwa "Pemerintahan sementara pada hakikatnya adalah organ kekuasaan milik tuan-tuan tanah dan borjuasi". Dan juga menunjukkan betapa fatalnya kebijakan kompromistis kaum Sosialis Revolusioner dan Menshevik, yang senantiasa mengelabui rakyat dengan janji-janji palsu; dan malah menempatkan rakyat di bawah jurang penderitaan perang imperialis maupun kontra-revolusi. Pada konferensi tersebut Kamenev dan Rykov menentang pandangan Lenin. Sambil menggaungkan cara pandang Menshevik, mereka menekankan bahwa Rusia belum matang bagi sebuah Revolusi Sosialis. Bahwa hanya sebuah republik Borjuis yang cocok dengan Rusia sehingga mereka mengusulkan agar Partai dan klas buruh membatasi dirinya cukup dengan "mengontrol" Pemerintahan sementara saja. Dalam kenyataannya mereka (Kamenev dan Rykov)--sebagaimana juga kaum Menshevik-- hanya memelihara kekuasaan kapitalisme dan borjuasi.
Dalam konferensi itu Zinoviev juga berbeda pandangan dengan Lenin. Khususnya tentang persoalan apakah Partai Bolshevik perlu mempertahankan aliansi Zimmerwald, ataukah menyatakan dirinya keluar dan membentuk Internasional Baru. Sebagaimana telah diperlihatkan dalam masa tahun-tahun peperangan,--sementara aliansi ini membawa propaganda perdamaian yang menentang perang--aliansi inin tidak benar-benar memisahkan dirinya dengan sebagian anggotanya yang menyokong perang. Karenanya Lenin menekankan perlunya untuk segera menarik diri dari aliansi ini, dan membentuk Komunis Internasional baru . Sedangkan Zinoviev sendiri beranggapan bahwa aliansi Zimmerwald perlu tetap dipertahankan. Dengan tajam Lenin mengecam proposal/usulan Zinoviev, dan menyebut taktiknya sebagai "taktik semi oportunis yang merusak".

Konferensi bulan April ini juga membahas tentang permasalahan nasional dan agraria. Sehubungan dengan laporan Lenin mengenai persoalan agraria… Konferensi mengeluarkan sebuah resolusi yang menyerukan pengambilalihan atas tanah-tanah kepemilikan yang luas (estate-estate), yang harus diserahkan penyelesaiannya kepada komite-komite tani, dan juga seruan bagi nasionalisasi atas seluruh tanah. Partai menyarankan perlawanan bagi kaum tani agar merebut tanah yang mereka perlukan, dan menegaskan bahwa hanya Partai Bolshevik-lah yang menyokong kaum tani bagi penyingkiran tuan-tuan tanah.

Laporan kawan Stalin juga mempunyai arti yang sangat penting, terutama berkenaan dengan persoalan kebangsaan. Bahkan jauh sebelum revolusi pada masa awal perang imperialis, Lenin dan Stalin telah coba memformulasikan prinsip-prinsip fundamental bagi kebijakan Partai tentang persoalan nasional. Lenin dan Stalin menegaskan bahwa partai proletariat harus mendukung pergerakan kemerdekaan nasional, atas rakyat tertindas di bawah imperialisme. Sebagai konsekuensinya Partai Bolshevik menyokong hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, bahkan kalau perlu memisahkan dirinya dan membentuk negara tersendiri. Demikianlah pandangan yang dikedepankan oleh Kawan Stalin, dalam laporan yang disampaikannya di konferensi atas nama Komite Sentral.

Lenin dan Stalin yang ditentang oleh Rytakov--yang bersama-sama dengan Bukharin--memang telah mengambil posisi chauvinis nasional sehubungan dengan persoalan kebangsaan. Pyatakov dan Bukharin sendiri memang menentang hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Posisi yang ditetapkan oleh Partai secara secara konsisten atas persoalan kebangsaan. --(perjuangannya bagi kesetaraan yang sepenuh-penuhnya atas bangsa-bangsa, penghapusan segala bentuk penindasan dan ketidaksetaraan atas bangsa-bangsa)--pada gilirannya menghasilkan simpati dan solidaritas dari bangsa-bangsa yang tertindas.

Teks resolusi mengenai persoalan kebangsaan yang diputuskan oleh Konferensi bulan April tersebut adalah sebagai berikut:
"Kebijakan atas penindasan bangsa-bangsa yang diwariskan dari kekuasaan otokrasi dan monarki--selalu didukung oleh tuan-tuan tanah, kaum kapitalis maupun borjuis kecil--dalam rangka untuk melindungi hak-hak istimewa mereka dan mengakibatkan keretakan/ketidaksatuan kaum buruh di berbagai negeri. Imperialisme modern yang membutuhkan penaklukan atas bangsa-bangsa untuk memenuhi kepentingannya, adalah sebuah faktor baru yang meningkatkan penindasan bangsa-bangsa tersebut".
Oleh karena penghapusan atas penindasan bangsa-bangsa sudah dapat dilaksanakan (bahkan) di bawah masyarakat kapitalis. Yakni di bawah syarat-syarat sistem demokratik yang konsisten, dan pengaturan negara yang menjamin kesetaraan yang sepenuhnya atas bangsa-bangsa maupun bahasa-bahasanya.

Hak tiap bangsa-bangsa yang menjadi bagian pembentuk Rusia untuk memisahkan diri dan membentuk negara-negara independen harus dihormati. Mengabaikan hak-hak ini atas mereka, atau kegagalan untuk menyediakan patokan-patokan bagi terjaminnya pelaksanaan praktis atas hak-hak ini….Adalah sama saja dengan mendukung kebijaksanaan aneksasi atau penundukan suatu wilayah tertentu. Hanya pengakuan/penghormatan dari klas proletar atas hak bangsa-bangsa untuk memisahkan dirinyalah--yang dapat memastikan solidaritas sepenuh-penuhnya di antara kaum buruh dari berbagai bangsa--untuk mendorong bangsa-bangsa tersebut lebih dekat lagi ke garis demokratik yang sejati.

Hak bangsa untuk memisahklan diri jangan sampai disalah artikan sebagai kelayakan bagi sebuah bangsa tertentu untuk melakukan pemisahan diri kapan saja (tanpa memperhatikan momentum yang tepat). Partai proletariat harus memutuskan persoalan tersebut secara independen; yang disesuaikan dengan kesimpulan tentang tingkat perkembangan masyarakat secara keseluruhan--maupun kepentingan perjuangan klas proletariat bagi sosialisme.

Partai menuntut: otonomi regional yang luas, penghapusan kontrol semata dari atas, penghapusan kewajiban. Keharusan bagi pemakaian bahasa negara, penentuan batas-batas wilayah pengaturan diri tersebut, maupun wilayah-wilayah otonom oleh penduduk lokal/wilayah itu sendiri (yang sesuai dengan kondisi-kondisi sosial ekonominya maupun komposisi nasional atas penduduknya, dll).

Partai proletariat dengan ini menolak apa yang disebut sebagai "otonomi budaya bangsa", yang menempatkan persoalan pendidikan misalnya, terpisah dari tanggung-jawab negara; dan yang hendak menyerahkannya kepada kompetensi semacam lembaga perwakilan nasional. Otonomi budaya bangsa secara semu akan memisahkan kaum buruh yang tinggal di wilayah yang sama, dan bahkan menceraikan kaum buruh yang bekerja di perusahaan yang sama, dikarenakan latar belakang "budaya" bangsa yang berbeda-beda. Dengan lain perkataan, hal tersebut hanya akan memperkuat iktan-ikatan buruh dengan budaya/tradisi borjuis yang menghinggapi oleh bangsa-bangsa tersebut. Padahal salah satu tujuan kaum Sosial Demokrat adalah untuk membangun budaya Internasional bagi dunia proletariat.

Partai menghendaki agar pengakuan atas hak-hak dasar dapat diterapkan dalam konstitusi yang menghapuskan semua hak-hak istimewa yang dinikmati bangsa tertentu; di atas penindasan/pengingkaran hak-hak bangsa minoritas.

Kepentingan kelas buruh menuntut agar: kaum buruh dari berbagai latar kebangsaan di Rusia, sanggup memiliki organisasi-organisasi proletariat yang merupakan wadah bersama… Organisasi-organisasi ini dapat merupakan serikat buruh, organisasi politik, lembaga-lembaga pendidikan dalam wujud koperasi, dan lain-lain. Hanya pengorganisasian kaum buruh secara bersama --dengan latar belakang kebangsaaan yang berbeda-beda inilah -- yang membuat kelas proletariat sanggup untuk memikul perjuangan yang sukses melawan modal international dan nasionalisme borjuis". (Resolusi Partai Komunis Uni Soviet (Bolshevik, edisi Rusia bagian I, halaman 239-240).

Demikianlah konfernsi partai pada bulan April itu telah menunjukkan pihak-pihak yang memiliki cara pandang anti Leninis, seperti yang dianut oleh Kamenev, Zinoviev, Pytakov, Bukharin, Rykov dengan segelinit pengikut mereka. Nyatanya konferensi itu sendiri secara bulat memutuskan untuk menerima usul-usul Lenin. Dengan mengambil posisi yang tegas atas semua persoalan-persoalan penting dan mendorong rangkaian gerak menuju kemenangan revolusi Sosialis.

3. Keberhasilan partai Bolshevik di Ibu kota. Serangan Prematur Tentara-tentara Pemerintahan sementara. Pembantaian atas aksi massa kaum buruh dan prajuit-prajurit.

Berlandaskan keputusan yang telah ditetapkan pada konferensi bulan April; Partai mengembangkan aktivitas-aktivitas yang diperluas bagi massa, melakukan pelatihan dan pengorganisiran massa. Garis partai pada periode itu adalah: memberikan pendidikan tekun kepada massa perihal kebijakan Bolshevik, memblejeti kebijakan-kebijakan yang kompromistis Kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner, mengasingkan partai-partai kompromis tersebut dari massa dan terutama memenangkan dukungan mayoritas dalam soviet. Sehubungan dengan kerja-kerja di soviet, partai Bolshevik melancarkan aktivitas-aktivitas yang gencar pada serikat-serikat buruh dan komite-komite pabrik.

Yang juga mencolok adalah kerja partai di dalam tubuh angkatan bersenjata. Karenanya pula organisasi-organisasi militer mulai bermunculan dimana-mana. Kaum Bolshevik bekerja tanpa kenal lelah di garis depan maupun di garis belakang, dalam rangka mengorganisir serdadu-serdadu dan pelaut-pelaut. Peran penting yang dilakukan untuk mendorong serdadu-serdadu agar menjadi revolusioner yang aktif, juga dilakukan lewat koran/surat kabar Bolshevik: Okapnaya Pravda (Parit perlindungan kebenaran).

Berkat kerja keras agitasi propaganda Bolshevik, (sejak awal meletusnya revolusi) kaum buruh di berbagai kota, telah menyelenggarakan pemilihan-pemilihan jajaran baru di dalam soviet. Khususnya dalam soviet di tingkat distrik, rakyat lebih senang memilih perwakilan Menshevik dan Sosialis Revolusioner.

Kerja keras kaum Bolshevik ternyata membuahkan hasil gemilang terutama di Ibu kota Petrograd. Pada tanggal 30 Mei s/d 3 juni 1917 diselenggarakan komite-komite pabrik di tingkat kota Petreograd. Hampir seluruh kelas buruh di kota Petrograd menyokong slogan Bolshevik --"Seluruh Kekuasaan pada Soviet".

Dalam kongres soviet (yang pertama), kaum Bolshevik dengan tegas menekankan konsekuensi-konsekuensi fatal yang akan terjadi bila kompromi dengan borjuasi, dan memblejeti watak imperialis yang sesungguhnya dari peperangan yang masih berlangsung. Lenin menyampaikan pidato pada kongres ini, sambil menunjukkan ketepatan garis Bolshevik. Lenin menambahkan pula, bahwa hanya sebuah pemerintahan soviet sajalah yang sanggup memberikan roti bagi pekerja, tanah bagi kaum tani, menjamin perdamaian dan membimbing negeri keluar dari kemelut berkepanjangan.

Sebuah kampanye massa diselenggarakan ketika itu, di distrik-distrik kelas buruh di kota Petrograd… guna menjelaskan tuntutan kongres soviet di hadapan massa luas. Dalam rangka untuk mencegah meletusnya aksi-aksi demonstrasi yang tanpa arah/orientasi (yang hanya spontan/memanfaatkan sentimen-sentimen revolusioner massa bagi kepentingan-kepentingan tertentu belaka); Komite eksekutif soviet kota Petrograd memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah aksi massa pada tanggal 18 Juni (atau 1 Juli, penanggalan internasional) 1917. Kaum Menshevik maupun Sosialis Revolusioner, berharap-harap agar aksi massa tersebut dapat diselenggarakan dibawah slogan-slogan anti Bolshevik. Partai Bolshevik mulai melakukan persiapan-persiapan dengan giat bagi terlaksananya demonstrasi ini. Kawan Stalin menulis di Pravda bahwa, "..Adalah tugas kita untuk memastikan bahwa aksi demonstrasi akan dilaksanakan pada tanggal 18 Juni di kota Petrograd, berjalan di bawah slogan-slogan revolusioner kita".

Aksi demonstrasi tanggal 18 Juni 1917 itu sendiri diawali dari makam para martir/pahlawan-pahlawan revolusi. Aksi ini menjadi saksi atas terujinya daya juang kekuatan Bolshevik. Aksi ini juga mengungkapkan semangat revolusioner yang menjalar di tengah-tengah, dan dan kepercayaan massa yang yang semakin tumbuh atas Partai Bolshevik. Slogan-slogan yang dimainkan oleh Menshevik dan Sosialis revolsuioner untuk bersandar pada Pemerintahan sementara dan seruan-seruan untuk tetap melanjutkan perang, lenyap di tengah derapan massa dan gelombang slogan-slogan kaum Bolshevik. Tidak kurang dari 400.000, massa mengusung panji-panji dan slogan: "Hentikan peperangan!", "Pecat Sepuluh Menteri Kapitalis!", "Segenap kekuasaan untuk Soviet!". Peristiwa ini benar-benar mencerminkan kegagalan besar Menshevik dan dan Sosialis Reolusioner, kegagalan yang sama bagi bagi Pemerintahan sementara di jantung kekuasaannya.

Betapapun Pemerintahan sementara masih memperoleh dukungan dari Kongres-Kongres Soviet yang pertama, dan mereka tetap memutuskan untuk melanjutkan kebijakan imperialis. Pada hari yang sama, yakni tanggal 18 Juni, Pemerintahan sementara --dalam kepatuhannya pada kekuatan imperialis Inggris dan Prancis--mengirimkan tentara ke garis depan untuk melakukan serangan. Pihak borjuasi memandang hal ini sebagai satu-satunya cara untuk mengakhiri revolusi. Dengan harapan bahwa serangan akan berhasil--pihak borjuasi ingin sekali merebut seluruh kekuasaan di bawah gengagamannya--hendak menyingkirkan Soviet dari panggung politik dan melibas kaum Bolshevik. Bahkan menurut perhitungan kaum borjuis, kalaupun pengiriman tentara Rusia tidak akan membawa hasil, seluruh kesalahan dapat ditimpakan kepada kaum Boshevik yang memecah belah tentara.

Tak ada keraguan lagi bahwa pengiriman pasukan tersebut akan berakhir dengan kegagalan dan nyatanya memang demikian. Pasukan yang dikirim berperang tidak seimbang dengan musuh. Pasukan sendiri tidak mengerti alasan penyerangan tersebut, mereka tidak memiliki kepercayaan pada perwira-perwiranya yang nampak asing bagi mereka. Ditambah dengan fakta bahwa mereka kekurangan perlengakapan tempur seperti artileri dan bunker-bunker perlindungan. Semua ini membuat kegagalan atas penyerangan tersebut, sebagai sebuah kekalahan yang seharusnya sudah bisa dihitung di atas kertas.

Berita pengiriman tentara ke garis depan, kemudian diikuti dengan khabar kekalahannya mencekam ibukota. Kemarahan buruh dan para serdadu meluap. Menjadi jelas bahwa ketika Pemerintahan sementara menyerukan kebijakan perdamaian, itu semua hanya untuk menina bobokkan rakyat. Dan nampak jelas bagi rakyat, bahwa pemerintahan sementara hanya ingin melanjutkan perang imperialis tanpa mempedulikan rakyat. Menjadi jelas pula bahwa Komite Eksekutif Sentral Soviet Seluruh Rusia dan Soviet Kota Petrograd tidak mau ataupun tidak sanggup mengawasi sepak terjang kriminal pemerintahan sementara dan mereka sendiri juga tidak luput dari pusaran kesalahan itu.

Kemuakan dan kemarahan para buruh dan serdadu kota Petrograd mendidih sudah. Pada tanggal 3 Juli (16 Juli) 1917 sebuah demonstrasi spontan meletus di distrik Vyborg, bagian dari kota Petrograd. Aksi ini berlangsung seharian penuh. Aksi-aksi demonstrasi yang tadinya meletus secara terpisah-pisah--kemudian berkembang menjadi aksi demonstari besar yang diupersenjatai--dengan tuntutan: pengambilalihan kekuasaan kepada Soviet. Partai Bolshevik menentang aksi demonstrasi yang bersenjata --pada saat itu-- karena memandang bahwa krisis revolusioner belum lagi matang. Bahwa tentara dan propinsi-propinsi Rusia belum dipersiapkan untuk mendukung sebuah pemberontakan di ibukota negeri. Bahwasanya pemberontakan prematur yang terisolasi (baca berjalan sendiri-sendiri), hanya akan mempermudah usaha serangan balik dari kaum kontra revolusioner. Untuk sekalian juga menyerang kekuatan pelopor revolusi. Namun ketika tampaknya mustahil untuk meredam gejolak massa…Partai memtuskan untuk berpartisipasi dalam demonstrasi besar tersebut, dalam rangka untuk memberikan karakternya yang terorganisir. Dalam hal yang satu ini Partai Bolshevvik berhasil mengerjakannya. Ratusan ribu massa rakyat berderap menuju markas besar Soviet Kota Petrograd dan Komite Eksekutif Sentral Dewan-Soviet Seluruh Rusia. Mereka menuntut agar Soviet melakukan pengambilalihan kekuasaan, menyingkirkan borjuasi imperialis dan melaksanakan kebijaksanaan aktif yang damai.

Tanpa memperdulikan aksi massa rakyat yang ber;langsung dengan damai tersebut, unit-unit reaksioner--antara lain detasemen perwira dan kadet-kadet--dilepaskan untuk memburu dan membantai massa rakyat. Jalan-Jalan raya kota Petrograd berlimbah dengan darah kaum buruh dan serdadu-serdadu yanga memihak rakyat. Ternyata unit-unit tentara yang paling kontra-revolusi telah didatangkan dari garis depan guna membantai rakyat!

Setelah membungkam massa buruh dan serdadu-serdadu populis dengan peluru dan senapan, kaum Menshevik bersama kaum Sosialis Revolusioner melakukan aliansi dengan Borjuasi dan jenderal-jenderal kontra-revolusion (Whiteguard generals). Aliansi ini dibuat untuk menyingkirkan partai Bolshevik. Terbitan Pravda dihancurkan. Pravda, Soldatskaya Pravda (Kebenaran Serdadu) juga diberangus. Seorang buruh bernama Vionov dibunuh dengan keji oleh para kadet ditengah-tengah jalan raya, hanya karena menjual Buletin Pravda (Listok Pravda). Dimana-mana dilakukan pembersihan/pelucutan senjata atas tentara-tentara rakyat (Red Guards). Unit-unit revolusioner dari garnisun-garnisun kota Petrograd ditarik dari ibukota dan dibunuh di parit-parit pinggiran kota. Penangkapan juga dilanjutkan dari garis depan samai ke garis paling belakang medan pertempuran. Pada tanggal 7 Juli dikeluarkanlah sebuah surat perintah penangkapan Lenin. Sejumlah anggota terkemuka Partai Bolshevik ditangkapi. Pabrik percetakan Trud tempat dicetaknya materi-materi publikasi Bolshevik diratakan dengan tanah. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Kota Petrograd mengumumkan bahwa Lenin dan sejumlah pimpinan Bolshevik dituduh melakukan "pengkhianatan besar" dan telah menggalang upaya-upaya unmtuk melakukan pemberontakan bersenjata. Dakwaan-dakwaan atas Lenin direkayasa di Markas Besar Jenderal Denikin, yang didasarkan pada kesaksian mata-mata maupun agen-agen provokator.

Pemerintahan sementara hasil koalisi ini--yang melibatkan perwakilan-perwakilan utama Menshevik dan Sosial Revolusioner, seperti Tsereteli, Skobelev, dan Chernov--terpuruk jatuh ke dalam pusaran imperialisme dan kontra revolusi. Bukannya menjalankan kebijakan damai, mereka malah melanjutkan terus peprangan yang telah membawa penderitaan besar bagi rakyat. Bukannya menegakkan hak-hak demokratik rakyat, mereka malah melibasnya dengan kekuatan senjata.

Apa yang ragu-ragu dilakukan oleh perwakilan kaum borjuis (Guchov dan Milyukov), justru dilakukan dengan lebih sadis oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai sosialis (seperti Kerensky, Tsereteli, Chernov dan Skobelev).

Jelas bahwa kekuasaan ganda ini harus diakhiri. Dalam hal ini nampaknya pihak borjuasi pun setuju, asal demi kepentingan borjuasi sendiri. Seperti saat ini, ketika seluruh kekuasaan telah ditenggelamkan oleh pemerintahan sementara. Sementara pada saat yang sama Soviet (dengan pimpinan Sosialis Revolusioner dan Mensheviknya) telah lumpuh dan ditundukkan di bawah kekuasaan Pemerintahan sementara.

Periode damai dalam revolusi telah berakhir, karena kini bayonet dan senjatalah yang telah menggantikannya sebagai agenda utama.

Sehubungan situasi yang sama sekali telah berubah, Partai Bolshevik memutuskan untuk mengubah taktiknya. Partai kembali ke bawah tanah. Partai mengupayakan tempat-tempat persembunyian yang aman bagi pimpinan-pimpinannya, terutama Lenin. Dan yang paling penting adalah: Partai kini mempersiapkan diri bagi sebuah pemberontakan. Dengan sasaran untuk menggulingkan kekuasaan borjuasi secara paksa/ dengan kekuatan bersenjata dan menegakkan kekuasaan Soviet.

4. PARTAI BOLSHEVIK MENETAPKAN JALAN PERSIAPAN BAGI PEMBERONTAKAN BERSENJATA. KONGRES PARTAI KE-ENAM

Kongres ke enam Partai Bolshevik diselenggarakan di kota Petrograd, ditengah hiruk-pikuk pencarian/perburuan kaum Bolshevik, yang juga digencarkan oleh surat kabar/terbitan borjuis maupun borjuis kecil. Kongres partai ini diselenggarakan sepuluh tahun setelah Kongres ke 5 (di London), dan 5 tahun setelah penyelenggaraan Konferensi Bolshevik di Praha. Kongres yang diadakan secara sangat rahasia ini berlangsung dari tanggal 26 Juli-3 Agustus 1917. Yang tampil dalam pemberitaan media-media massa adalah pemberitahuan tentang penyelenggaraan kongres itu sendiri; tempat penyelenggaraannya sendiri tidak diberitahukan. Sesi-sesi awal dalam kongres diadakan di distrik Vyborg, sedangkan sisa-sisa selanjutnya diadakan di sebuah sekolah dekat gerbang Narva (dewasa ini telah menjadi Gedung Pusat Kebudayaan). Surat-surat kabar borjuis menuntut penangkapan atas para delegasi Kongres. Namun parat penyelidik yang mencoba melacak tempat penyelenggaraan Kongres pulang dengan tangan hampa.

Dan sekarang, lima bulan setelah penggulingan Tsar, kaum Bolshevik ternyata masih harus menyelenggarakan pertemuan secara tersembunyi. Sementara Lenin--Pimpinan Partai Proletariat--dipaksa untuk bersembunyi dan diungsikan ke sebuah pondok di dekat stasiun Razliv. Lenin sendiri ternyata jadi buronan nomor satu dari antek-antek pemerintahan sementara. Imbalan yang sangat besar disediakan bagi penangkapnya. Karenanya, Lenin tidak dapat menghadiri Kongres. Namun Lenin tetap bekerja keras dan memberikan arahan dari tempat persembunyiannya, lewat kawan-kawan dekat dan pengikut-pengikutnya di Petrograd: Stalin, Sverdlov, Molotov dan Ordjonikidze.

Kongres itu sendiri dihadiri oleh 157 delegasi dengan hak pilih, dan 128 delegasi dengan hak suara namun tanpa hak pilih. Pada saat itu partai telah mempunyai keanggotaan sekitar 240.000 orang. Bisa dibandingkan dengan periode awal bulan Juli (sebelum meletusnya pembantaian atas aksi demonstrasi massa rakyat pada bulan Juli 1917). Pada saat itu Partai masih berfungsi secara legal, Partai memiliki 41 terbitan, 29 diterbitkan di Rusia, 12 terbitan lainnya diterbitkan dalam bahasa-bahasa asing.

Ternyata pengejaran dan perburuan atas kaum Bolshevik dan klas buruh (setelah demonstrasi bulan Juli), tidak melenyapkan pengaruh Partai kita atas massa; malah sebaliknya. Para delegasi dari berbagai Propinsi, mencatat berbagai fakta yang menunjukkkan bahwa kaum buruh dan serdadu-serdadu yang desertir meningkat tajam. Mereka meninggalkan kaum Menshevik ataupun Sosialis Revolusioner dengan kecewa. Tidak sedikit buruh dan serdadu yang tadinya memihak partai Menshevi/Sosialis Revolusioner, mencampakkan dan merobek-robek kartu keanggotaannya dengan perasaan marah bercampur jijik. Mereka inilah yang kemudian menyeberang ke pihak Bolshevik.

Persoalan utama yang dibahas dalam Kongres adalah laporan politik Komite Sentral dalam pembacaan tentang situasi politik terakhir. Kawan Stalin membuat laporan atas kedua persoalan di atas. Ia menunjukkan dengan kejernihan yang tajam, betapa revolusi telah tumbuh dan berkembang, sungguhpun kaum borjuis ingin meredamnya. Stalin menunjukkan bahwa revolusi telah memberikan tugas-tugas baru untuk menegakkan kontrol kaum buruh atas produksi dan distribusi brang-barang, keharusan untuk mengalihkan tanah bagi kaum tani, dan merebut kekuasaan dari tangan borjuasi oleh klas buruh dan tani miskin. Ia menyimpulkan bahwa revolusi yang tengah bergejolak memiliki watak revolusi sosialis.

Situasi politik di Rusia sendiri telah benar-benar berubah sejak demonstrasi Juli. Soviet--yang dipimpin oleh kaum Sosial Revolusioner dan Menshevik--telah menolak untuk menghimpun seluruh kekuasaan; dan karenanya telah kehilangan semua kekuasaannya (baca: ditinggalkan massa). Kekuasaan kini dipusatkan di tangan pemerintahan sementara kaum borjuis, yang terus-menerus berupaya meredam revolusi: berusaha untuk menghancurkan Partai Bolshevik dan melumatkan organisasinya. Dengan demikian semua sarana untuk meneruskan perkembangan revolusi secara damai telah dihilangkan. Hanya satu hal yang tersisa, yakni untuk mengambil-alih kekuasaan secara paksa, dengan menumbangkan pemerintahan sementara. Dan hanya klas buruh yang beraliansi dengan tani miskin, yang dapat merebut kekuasaan secara paksa.

Soviet--yang masih dikontrol oleh kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner--telah terjerembab ke dalam haribaan borjuasi. Dan di bawah kondisi yang berlaku saat ini hanya dapat bertindak sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan sementara. Sekarang, setelah demonstrasi Juli--menurut Kawan Stalin--slogan "segenap kekuasaan bagi Soviet" tidak bisa dipakai lagi. Betapapun, penghentian pemakaian slogan itu sendiri tidak boleh diartikan bahwa kita menolak perjuangan kekuasaan bagi Soviet. Tidak! Penghentian atau penolakan yang dimaksud bukan ditujukan terhadap Soviet secara keseluruhan (sebagai organ perjuangan revolusioner). Namun yang ditolak adalah Soviet yang saat ini dikontrol oleh kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner.

"Periode perdamaian dalam revolusi telah usai", demikian ucap kawan Stalin, "Periode yang tidak damai telah dimulai, sebuah periode yang penuh dengan perbenturan dan letusan-letusan". (Laporan Kongres ke 6 RSDLP, Edisi Rusia, halaman 111)

Partai telah menetapkan dan mempersiapkan diri bagi pmberontakan bersenjata. Memang ada beberapa peserta Kongres--yang masih mengidap pengaruh borjuasi--yang menentang penetapan jalan revolusi Sosialis.

Preobrazhensky--seorang pengikut Trotsky--membuat usulan perihal perebutan kekuasaan. Menurutnya, resolusi tentang perebutan kekuasaan harus dilengkapi dengan tambahan: bahwa negeri ini akan menempuh jalan Sosialisme, hanya jika terdapat momentum proletariat di Eropah. Sehubungan dengan pendapat ini, resolusi Stalin menanggapi:

"Bahwa momentum (yang dimaksud) tidak perlu mencegah Rusia, untuk menjadi satu-satunya negeri yang menapak jalan menuju Sosialisme… Kita harus membuang gagasan-gagasan kuno, bahwa hanya Eropah yang dapat menunjukkan jalan kepada kita. (Memang) ada Marxisme yang dogmatis dan ada Marxisme yang kreatif. Aku mendukung yang terakhir. (Laporan Kongres ke 6, hal. 233-234)

Bukharin yang berpijak pada posisi pendukung Trotsky menegaskan soal keterlibatan tani dalam revolisi. Menurutnya kaum tani berada dalam satu kepentingan dengan borjuasi dan karenanya mereka tidak akan bersedia dipimpin oleh kaum buruh. Menanggapi pernyataan Bukharin, kawan Stalin memberikan jawaban yang pedas: "Ada beberapa macam tani. Ada tani kaya yang menyokong borjuasi imperialis. Ada tani miskin yang berupaya untuk menjalin aliansi dengan klas buruh dan bersedia mendukung klas buruh dalam perjuangan revolusi sampai menang".

Ternyata kongres menolak usulan tambahan dari Prebrazhensky dan Bukharin, dan memutuskan untuk menyetujui resolusi yang diajukan oleh kawan Stalin.

Kongres juga membahas tentang platform ekonomi Partai Bolshevik dan menegaskan dalam keputusan. Pokok-pokok platform ekonomi tersebut adalah: pengambil-alihan tanah-tanah kepemilikan yang luas (estate-estate), nasionalisasi seluruh tanah, nasionalisasi atas bank-bank, nasionalisasi atas industri berskala besar, penegakan kontrol buruh atas proses produksi dan distribusi. Kongres menekankan arti pentingnya perjuangan bagi kontrol kaum buruh atas produksi, karena kemudian akan semakin menjadi lebih penting lagi … Dalam proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan industrial berskala besar.

Dalam berbagai keputusannya, Kongres ke-6 secara khusus memberikan tekanan pada prinsip-prinsip Lenin, mengenai aliansi antara klas buruh dan tani msikin; sebagai syarat bagi kemenangan revolusi sosialis.

Kongres mengutuk teori Menshevik yang menyarankan agar serikat buruh tetap mengambil sikap netral/tidak memihak. Kongres menunjukkan bahwa tugas historis yang dipikul oleh klas buruh hanya akan dapat dilaksanakan… Jika serikat-serikat buruh menetapkan dirinya sebagai bagian dari organisasi klas yang militan, yang mengakui kepemimpinan politik Partai Bolshevik.

Kongres juga menerima sebuah resolusi bagi Liga Pemuda, yang pada masa itu memang kerap melibatkan diri secara spontan. Sebagai hasil dari upaya-upaya partai, ternyata partai berhasil mendapatkan penghargaan dari organisasi-organisasi pemuda ini, yang dapat bertindak sebagai lapisan penerus partai.

Kongres membahas pula tentang persoalan, apakah Lenin perlu memunculkan diri dalam persidangan. Kamenev, Rykov, Trotsky dan yang lainnya beranggapan, bahwa Lenin harusnya muncul di hadapan pengadilan kontra-revolusioner. Kawan Stalin menentang keras penampakan Lenin dihadapan persidangan. Kongrespun beranggapan sama, karena bila Lenin memunculkan diri, ia hanya akan dihukum mati, tanpa proses persidangan. Kongres sampai pada kesimpulan, bahwa kaum borjuis hanya menghendaki kematian Lenin belaka, selaku musuh nomor satu bagi borjuasi. Kongres mengirimkan nota-nota protes atas penyiksaan/perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh aprat pemerintah, terhadap pimpinan-pimpinan revolusioner klas buruh. Sebuah pesan solidaritas juga dikeluarkan oleh Kongres bagi Lenin.

Kongres Partai ke-6 memutuskan AD/ART baru. Aturan-aturan baru tersebut diantaranya menegaskan bahwa seluruh pengorganisasian Partai harus dibangun berbasiskan prinsip Sentralisme Demokratik.

Hal ini berarti bahwa:
1. Seluruh badan pengarah Partai, dari jajaran di atas sampai ke bawah harus dipilih.
2. Bahwa Badan-Badan Partai harus memberikan laporan berkala mengenai aktivitas-aktivitasnya kepada Partai, lewat jalan organisasi masing-masing.
3. Bahwa disiplin Partai yang tegas/keras harus ditegakkan, bahwa yang minoritas harus bersedia tunduk pada yang mayoritas.
4. Bahwa semua keputusan yang telah dibuat oleh badan yang lebih tinggi, harus mengikat badan-badan yang lebih rendah, dan seluruh anggota Partai.

AD/ART Partai yang baru menetapkan bahwa penerimaan anggota baru--harus dilakukan lewat organisasi lokal Partai--dan disertai rekomendasi dari sedikitnya 2 anggota Partai; ditambah lagi dengan persetujuan organisasi lokal Partai, dalam rapat umum anggota.

Kongres ke-6 menerima Mezhrayontsi dan pemimpin mereka--Trotsky--ke dalam Partai. Mezhrayontsi adalah kelompok kecil yang telah berdiri di Petrograd sejak 1913, dan terbentuk dari para pengikut Trotsky dengan kaum Menshevik. Juga ditambah dengan bekas anggota Bolshevik yang telah memisahkan diri dari Partai. Selama berlangsungnya peperangan, Mezhrayontsi adalah organisasi kaum tengah (sentris). Mereka menentang kaum Bolshevik, namun dalam banyak hal juga tidak setuju dengan posisi kaum Menshevik. Dengan demikian mereka menempatkan dirinya sebagai kaum tengah/sentris dengan posisinya yang bimbang. Selama berlangsungnya Kongres, Mezhrayontsi menyatakan persetujuannya atas semua keputusan Kongres, dan mengajukan permohonan untuk diterima di Partai. Permohonan ini diterima, dengan pertimbangan bahwa dalam perjalanan waktu, mereka akan benar-benar menjadi kaum Bolshevik yang sejati. (Khususnya tentang Trotsky, sejarah mencatat bahwa bergabungnya ia dengan Partai bukan karena hendak membaktikan diri, namun untuk merusak dan mengacaukan Partai dari dalam).

Semua keputusan yang dibuat oleh Kongres ke-6--ditujukan untuk mempersiapkan klas buruh dan kaum tani termiskin--bagi sebuah pemberontakan bersenjata. Bagi sebuah Revolusi Sosialis. Kongres sendiri mengeluarkan sebuah manifesto Partai, yang menyerukan kaum buruh, serdadu-serdadu, kaum tani.. untuk mengerahkan segenap daya kekuatannya, bagi pertarungan menentukan melawan borjuasi. Manifesto tersebut ditutup dengan kata-kata sebagai berikut :

"Bersiaplah--kemudian--bagi pertarungan-pertarungan baru, wahai Kawan-Kawan seperjuangan! Dengan kukuh, jantan, dan mantap. Tanpa jatuh ke dalam provokasi, kerahkan kekuatan-kekuatanmu di bawah panji-panji Partai--Proletariat dan Serdadu! Berbarislah di bawah panji-panji kami, wahai Engkau yang tertindas--dari seluruh pelsosok desa!"


Diambil dari History of The CPSU (B). Moscow: Foreign Language Publ., 1951. Bab VII, Bagian 1-4, halaman 280-308.

Editor: Moh. Awani