­

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magnaaliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exer ull labo nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor aliquip.

0

Yes to PIRACY!!!

Menurut Forbes, Maret 2009, total kekayaan Bill Gates adalah 40 milyar Dolar; $ 40.000.000.000 !!!
Di Indonesia, bayi yang baru lahir memiliki kekayaan minus 7 juta rupiah; alias berhutang 7 juta!!

Dewa 19, sekali show live dibayar Rp. 125 juta!!
Di Brebes, Upah Minimum Kotanya hanya Rp 547.000.

BUKAN TANGGUNG JAWAB KITA UNTUK MEMPERKAYA PARA ELITE DAN KONGLOMERASI ASING!!!




0

Marginalisasi Dunia Ketiga - Seri Neoliberalisme (bagian 2)

Penulis: Ajianto Dwi Nugroho (Mantan Kalitbang Majalah Balairung)

Balairung, Mayoritas terbesar dari negara-negara dunia yang dihuni oleh hampir ¾ dari seluruh populasi dunia - yaitu sekitar 3,8 milyar manusia bukan hanya diabaikan dalam penyebaran investasi langsung manca negara, melainkan sama sekali dimarginalkan (dipinggirkan) dalam peredaran perdagangan dunia.




Jalan utama bagi wilayah-wilayah ini untuk "terintegrasi" ke dalam ekonomi kapitalis global adalah melalui upeti tahunan sebesar 40 milyar dollar, yang mereka berikan dalam bentuk pembayaran hutang serta pelayanan kepada bank-bank dan pemerintahan-pemerintahan para anggota Triad imperialis.

Akan tetapi, sementara kewajiban pembayaran hutang itu menimpakan beban yang sangat berat terhadap perkembangan ekonomi dan sosial mereka, kenyataan menunjukkan bahwa hutang ini ternyata hanyalah bagian yang marginal dari hutang global. Pada tahun 1990, total jumlah hutang pemerintahan-pemerintahan sentral dan lokal, rumah tangga dan bisnis-bisnis non-finansial di AS sendiri adalah sebesar 10,6 trilliyun dollar - hampir 10 kali total jumlah hutang negara-negara Dunia Ketiga.

Jadi, bagi mayoritas terbesar penduduk dunia, posisi mereka dalam pasar "global" hanya serupa dengan posisi propinsi-propinsi terbelakang dalam emperium Romawi selama masa kemunduran dan kebobrokan, yaitu corak produksi kepemilikan budak - dijarah dan dimiskinkan untuk memperkaya tuan-tuan berpunya yang tinggal di pusat-pusat emperium.

Angka-angka yang disebutkan diatas tentang distribusi investasi langsung manca negara, aset dan penjualan dari perusahaan-perusahaan transnasional, menunjukkan bahwa - untuk semua maksud dan tujuannya - negara-negara imperialis lah yang memenuhi keanggotaan dari ekonomi yang "meng-global", jika hubungan ekonomi seperti itu memang bisa dikatakan ada.

Ekonomi kapitalis dunia terbangun di seputar blok-blok perdagangan dan investasi yang saling bersaing, yang berpusat di nation-states Eropa Barat, Amerika Utara dan Jepang. Mayoritas perusahaan transnasional tersebut hanya beroperasi di sejumlah kecil negara - terutama di "home" country mereka sendiri dan di negara-negara "berupah tinggi" lainnya dari Triad imperialis.

Berlawanan dengan pernyataan dari para pendukung tesis globalisasi, ternyata perusahaan-perusahaan transnasional tidak mengarahkan investasinya ke wilayah-wilayah dunia dimana biaya tenaga kerja paling rendah. Tidak ada dorongan kuat oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang bermarkas di Jerman, misalnya, untuk mengalihkan modal mereka dari industri-industri manufaktur di Jerman - dimana rata-rata upah buruh adalah 25 dollar per jam - ke cabang-cabang yang tidak memiliki serikat buruh dalam industri India, dimana upah rata-rata hanya 40 sen per jam.

Kenyataannya, komponen manufaktur dari investasi langsung manca negara oleh perusahaan-perusahaan transnasional semakin besar diarahkan ke cabang-cabang industri dengan tingkat pengeluaran yang tinggi pada modal tetap (fixed capital), angkatan kerja yang lebih kecil namun lebih trampil (ber-skill), yang dengan demikian juga berarti tingkat upah yang lebih tinggi (seperti perusahaan-perusahaan bahan kimia, mobil dan elektronik), bukan ke cabang-cabang industri yang ber-skill rendah, upah rendah, ataupun cabang-cabang industri yang padat tenaga kerja seperti tekstil, garmen dan sepatu.

Internasionalisasi Modal

Tidak diragukan lagi, jelas terdapat kecenderungan yang kuat ke arah internasionalisasi modal dalam dekade-dekade terakhir. Munculnya perusahaan-perusahaan transnasional sebagai bentuk dominan dari organisasi modal besar dibawah kapitalisme-monopoli-lanjut adalah buktinya.

Akan tetapi, untuk memahami dinamika riil dari kecenderungan ini, adalah penting untuk tidak merancukan pemahaman antara internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi (yaitu internasionalisasi produksi dan realisasi dari nilai lebih/surplus value) dengan internasionalisasi kekuatan komando atas modal (yaitu sentralisasi internasional terhadap modal).

Internasionalisasi dari realisasi surplus value - yaitu penjualan komoditi - adalah suatu kecenderungan yang inherent dalam kapitalisme, namun ia telah berkembang secara sangat berbeda sepanjang sejarah corak produksi ini. Secara luas, internasionalisasi ini meningkat dari awal abad ke-19 sampai meletusnya Perang Dunia I (yaitu: ekspor tumbuh dari hanya sebesar 3% output dunia pada tahun 1800 menjadi 16% pada 1913).

Angka ini merosot selama gelombang depresi (krisis ekonomi) panjang, yang menandai masa-masa perang antara tahun 1913 sampai 1939. Angka ini mulai naik lagi pada periode setelah Perang Dunia II - namun hanya mencapai 15% dari output dunia pada tahun 1990. Demikian pula, saham dunia yang terakumulasi dalam hal investasi langsung manca negara pada tahun 1913 setara dengan 12% output dunia, namun mengalami penurunan yang cukup besar pada masa-masa perang. Pada tahun 1990, angka ini tidak lebih dari 10%.

Sebelum Perang Dunia II, hanya terdapat internasionalisasi yang marginal dalam hal produksi surplus value di luar sektor bahan mentah. Yaitu, sangat sedikit perusahaan besar yang mengeluarkan modal - yang konstan dan yang bervariasi - diluar "home" country-nya. Hal ini mulai berubah setelah Perang Dunia II, seiring perusahaan-perusahaan besar yang berbasis di negara-negara kapitalis maju - terutama perusahaan besar yang berbasis di AS - mulai melakukan investasi dalam produksi manufaktur di luar negeri, baik melalui pengaturan usaha-usaha yang dimiliki oleh anak-anak perusahaannya di manca negara, ataupun dengan membeli perusahaan-perusahaan manufaktur luar negeri. Sejak tahun 1960-an, hal ini telah menjadi fenomena umum bagi modal besar di semua negara kapitalis maju, yang untuk pertama kalinya telah dengan cepat membentuk sebuah kerangka internasional untuk kompetisi modal.

Namun demikian, internasionalisasi pembelanjaan modal tidak selalu selaras dengan internasionalisasi kepemilikan modal, yaitu penggabungan (fusi) modal-modal dari negara-negara yang berbeda menjadi perusahaan-perusahaan yang betul-betul bersifat multinasional (perusahaan yang dimiliki oleh kapitalis-kapitalis dari kewarganegaraan yang berbeda-beda, dimana kekuasaan komando atas modal dari perusahaan ini tidak berada di tangan kapitalis-kapitalis dari negara tertentu). Selain di Eropa Barat, sedikit sekali terdapat bukti bahwa penggabungan modal seperti itu telah atau sedang terjadi.

Organisasi-organisasi Internasional


Akan tetapi, bukankah pemerintahan-pemerintahan di dunia ini semakin lama makin menyerahkan kedaulatan kepada organisasi-organisasi internasional IMF, Bank Dunia dan WTO (World Trade Organisation / Organisasi Perdagangan Dunia) yang bertindak untuk kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional? Di sini, kembali kita perlu membedakan antara negara-negara semi-kolonial dengan nation-states imperialis.

Pemerintahan negara-negara imperialis tidak lain adalah komite eksekutif untuk mengatur kepentingan-kepentingan yang sama dari kapitalis-kapitalis nasional mereka, dimana fraksi yang dominan diorganisir menjadi perusahaan-perusahaan transnasional. Dan pemerintahan negara-negara imperialis lah yang mengontrol IMF, Bank Dunia dan WTO, seperti juga mereka mengontrol Dewan Keamanan PBB. Di dalam IMF, misalnya, suara ditentukan berdasarkan proporsi sumber keuangan yang disumbangkan sebagai dana. Pada tahun 1990, dua puluh tiga negara imperialis memiliki 62,7% suara dibandingkan 35,2% suara untuk 123 anggota lainnya. Lima direktur tetap dari Dewan Eksekutif IMF dicalonkan oleh lima penyumbang terbesar - AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang.

Fungsi esensial dari IMF, Bank Dunia dan WTO adalah untuk memaksakan kebijakan-kebijakan ekonomi dunia kepada negara-negara lain, yang kebijakan-kebijakan itu sebelumnya telah disepakati di antara negara-negara imperialis besar. Kebijakan-kebijakan ini diputuskan setiap tahun pada pertemuan puncak pemerintahan-pemerintahan dari 7 negara imperialis terkaya G-7.

Pada pertemuan tahun 1976, misalnya, para pemimpin G-7 menyepakati sebuah program untuk mereorganisasi (menata kembali) ekonomi-ekonomi Dunia Ketiga dengan cara: membuka pasar dunia (yaitu mengimpor dari negara-negara imperialis); lebih memprioritaskan ekspor daripada pasar dalam negeri; swastanisasi perusahaan-perusahaan negara; dan membuka diri terhadap investasi asing (yaitu penanaman modal oleh negara-negara imperialis); serta pengurangan poin-poin anggaran yang "tidak produktif" seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam tahun-tahun setelah 1976, ini semua telah menjadi kebijakan yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia terhadap negara-negara penghutang dari Dunia Ketiga.

Tujuan dari kebijakan-kebijakan ini adalah untuk menurunkan campur tangan pemerintah, dan memberikan konsesi ekonomi serta kebebasan politik formal kepada borjuasi di negara-negara Dunia Ketiga. Jadi, penerapan resep pro-ekspor bagi semua negara penghutang di Dunia Ketiga berarti meningkatnya persaingan di antara mereka, yang ini menimbulkan malapetaka berupa anjloknya harga produk-produk ekspor dari negara-negara tersebut, yang umum-nya terdiri atas bahan-bahan mentah. Pada tahun 1989, harga rata-rata untuk produk ini - kecuali minyak - adalah kurang dari 33% harga pada tahun 1980.

Mendapatkan kembali pasar dalam negeri dari negara-negara semi-kolonial juga merupakan tujuan fundamental di balik dorongan besar oleh kekuatan imperialis terhadap asosiasi-asosiasi "perdagangan bebas" seperti NAFTA dan APEC. Penghapusan bea impor oleh semua anggota dari asosiasi-asosiasi ini telah menghancurkan satu-satunya bentuk proteksi yang dimiliki oleh negara-negara semi-kolonial terhadap penetrasi ke dalam pasar domestik mereka oleh kekuatan imperialis. Akan tetapi, negara-negara imperialis sendiri mampu membatasi (membendung) penetrasi ke dalam pasar domestik mereka oleh ekspor dari negara-negara semi-kolonial, dengan cara mempertahankan berbagai perintang non-tarif yang sangat kuat.



0

Trend Globalisasi Modal - Seri Neoliberalisme (bagian 1)

Penulis: Ajianto Dwi Nugroho (Mantan Kalitbang Majalah Balairung)


Balairung, Sekarang ini secara luas telah dinyatakan oleh para ekonom borjuis, ilmuwan sosial, guru-guru manajemen serta politisi dari setiap jalur bahwa kita kini hidup dalam sebuah era sejarah baru dimana ekonomi-ekonomi nasional, budaya-budaya nasional serta batas-batas nasional sedang melenyap dan digantikan oleh sebuah proses yang terjadi sangat cepat, yaitu "globalisasi".
Yang menjadi fokus dari diskursus yang sedang nge-trend ini adalah klaim bahwa sebuah "ekonomi yang betul-betul global" telah atau sedang muncul, di mana ekonomi-ekonomi nasional yang berdiri sendiri dalam kaitan dengan hal tersebut sudah tidak relevan. Ekonomi dunia kini didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang telah meng-internasional-kan aktivitas-aktivitas-nya sedemikian rupa sehingga melakukan produksi dan penjualan di banyak negara.


Perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki loyalitas kepada negara-bangsa (nation-state) tertentu, dan akan menempatkan investasi serta operasi-operasi mereka di manapun pasar "global" bisa menghasilkan keuntungan tertinggi buat mereka.

Modal besar sekarang ini sangat bebas bergerak, sehingga setiap upaya oleh pemerintahan nasional atau gerakan buruh di negeri tertentu untuk mendesakkan kebijakan ketat terhadap modal besar tersebut - yang menambah biaya yang harus dikeluarkannya (misalnya pajak) - akan mengakibatkan pemilik modal itu menarik modalnya dari negara tersebut, dan memindahkan operasinya ke negara lain dimana biaya yang harus mereka keluarkan lebih rendah.

Di dalam gerakan buruh, argumen ini juga beredar luas, yang memberikan pembenaran bagi pejabat serikat buruh untuk mendesak agar buruh mau menerima pengurangan upah, kondisi kerja dan tunjangan sosial, agar tetap bisa bekerja (tidak dipecat). Konsep globalisasi ini juga diterima oleh sebagian orang yang dulunya adalah penganut kiri radikal, namun kini berargumen bahwa modal besar begitu bebas bergerak (mobile) dan sangat kuat - sedangkan negara-negara nasional begitu lemah - sehingga sia-sia bagi kelas pekerja untuk berjuang merebut kekuasaan negara.

Menurut Laporan PBB tentang Investasi Dunia tahun 1993, ada sekitar 37.000 perusahaan transnasional yang memiliki sekitar 170.000 cabang di manca negara. Sembilan puluh persen di antaranya memiliki kantor pusat (markas) di negeri-negeri kapitalis maju.

Dengan merangkum data dari berbagai sumber, akademisi Inggris, Paul Hirst dan Graham Thompson - dalam buku mereka yang terbit baru-baru ini, Globalization in Question - mencatat bahwa sebagian besar penjualan dan aset perusahaan-perusahaan transnasional ternyata hanya dipusatkan di negara atau wilayah asal "home"country/region), "kendatipun ada berbagai spekulasi tentang globalisasi."

Untuk perusahaan-perusahaan transnasional bidang manufaktur yang berkantor pusat di AS pada tahun 1987, tujuh puluh persen dari penjualan dan 67% dari asetnya berada di AS sendiri. Sebagian besar dari sisanya pada 1987 dipusatkan di Eropa Barat dan Kanada. Untuk perusahaan-perusahaan transnasional bidang jasa yang berkantor pusat di AS, 93% dari penjualan dan 81% dari asetnya berada di AS pada tahun 1987.

Untuk perusahaan-perusahaan transnasional yang bermarkas di Eropa Barat, terdapat distribusi geografis penjualan dan aset yang lebih luas, namun antara 70-90% diantaranya ternyata juga berada di "home" country-nya serta negara-negara Eropa Barat lainnya. Untuk perusahaan-perusahaan transnasional bidang manufaktur yang bermarkas di Jepang, 75% penjualannya pada 1993 berada di Jepang, demikian pula 97% asetnya.

Antara 1987 sampai 1993, terdapat konsentrasi yang meningkat oleh perusahaan-perusahaan transnasional untuk menempatkan asetnya di "home" country, dan bukan mengikuti trend "globalisasi". Perusahaan-perusahaan transnasional bidang manufaktur yang bermarkas di Inggris pada 1987, lima puluh dua persen asetnya berada di Inggris, dan pada 1993 jumlah asetnya yang berada di Inggris meningkat menjadi 62%.

Perusahaan-perusahaan transnasional bidang manufaktur yang bermarkas di Jepang meningkatkan bagian aset yang ditempatkan di Jepang dari 64% pada 1987 menjadi 75% pada 1993, sedangkan perusahaan-perusahaan transnasional bidang jasa yang bermarkas di Jepang juga meningkatkan bagian asetnya yang ditempatkan di negaranya sendiri dari 77% pada 1987 menjadi 92% pada 1993. Perusahaan-perusahaan transnasional bidang manufaktur yang bermarkas di AS meningkatkan bagian asetnya yang ditempatkan di AS dari 67% pada 1987 menjadi 73% pada 1993.
Dari angka-angka ini, kita dapat melihat bahwa-jauh dari upaya untuk menyebarkan aset dan penjualannya secara merata ke seluruh dunia (globe) - perusahaan-perusahaan transnasional ternyata justru memusatkan baik produksi maupun penjualan komoditinya di "home" countries. Dan kalaupun mereka telah meng-internasional-kan operasi-operasinya, namun itu sangat dipusatkan di negara-negara kapitalis maju lainnya. Ini tercermin dari investasi langsung dan perdagangan manca negara pada skala global yang sangat tidak merata.

Distribusi Investasi dan Perdagangan Global

Pada 1992, total saham investasi langsung manca negara di seluruh dunia adalah sebesar 2 trilliun dollar AS. Perusahaan-perusahaan transnasional yang mengontrol saham ini bertanggung jawab atas penjualan senilai 5,5 trilliun dollar AS di seluruh dunia. Seratus perusahaan transnasional terbesar menguasai 1/3 dari saham ini. Enam puluh persen dari saham investasi langsung manca negara perusahaan transnasional adalah di bidang manufaktur, 37% di bidang jasa, dan hanya 3% di bidang produk-produk primer, yaitu bahan-bahan mentah mineral dan pertanian.

Distribusi geografis dari saham investasi langsung manca negara ini sangat tidak merata. Tujuh puluh lima persen diantaranya ditempatkan di negara-negara kapitalis maju, terutama Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang, yang jumlah penduduknya hanya 14% dari seluruh populasi dunia. Dari 25% sisa saham yang ada, 66% diantaranya ditempatkan di 10 negara "berkembang" yang terpenting - Argentina, Brasil, Cina, Hongkong, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dan Singapura. Jumlah penduduk kesepuluh negara ini adalah 29% dari seluruh populasi dunia.

Namun demikian, dengan masuknya Cina - yang jumlah penduduknya sekitar 1,2 milyar - maka angka-angka ini meremehkan tingkat sebenarnya dari ketidakmerataan dalam distribusi global investasi langsung manca negara. Investasi langsung manca negara yang mengalir ke Cina selama ini sangat dipusatkan ke 8 propinsi pantai Cina, plus Beijing. Jika semuanya dijumlahkan, maka didapat hasil bahwa 91,5% dari saham investasi langsung manca negara ternyata dikonsentrasikan di wilayah-wilayah yang hanya dihuni oleh 28% dari seluruh populasi dunia.

Selain itu, juga terdapat penyebaran investasi langsung manca negara yang secara geografis sangat tidak merata. Enam puluh persen investasi internasional hanya menyebar di antara negara-negara "Triad" imperialis Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang. Dari 40% sisanya - yaitu sekitar 34 milyar dollar AS pada tahun 1990-1993 - 56 persennya mengalir ke Asia Timur, dan 32 persennya ke Amerika Latin.

Fakta bukan hanya menunjukkan bahwa investasi langsung manca negara berasal dari Amerika Utara, Eropa barat dan Jepang, dan hanya mengalir untuk tujuan utama ke wilayah-wilayah itu juga, melainkan bahwa sebagian dari investasi langsung manca negara yang mengalir ke negara-negara non-Triad juga menunjukkan pola yang sangat terpusat. Jadi, sebagian besar investasi langsung manca negara non-Triad dari AS mengalir ke Amerika Latin. Sedangkan untuk investasi langsung manca negara non-Triad dari Jepang, tujuan utamanya adalah Asia Timur. Dan untuk investasi langsung manca negara non-Triad dari Eropa Barat, tujuan utamanya adalah Eropa Timur, Brasil, serta Afrika Barat dan Utara.

Konsentrasi geografis dalam akumulasi saham dan penyebaran investasi langsung manca negara juga paralel dengan pola perdagangan global yang secara geografis tidak merata. Pada tahun 1992, total ekspor dunia sebesar 3,7 trilliun dollar. Enam puluh sembilan persen dari ekspor dunia mengalir ke para anggota Triad imperialis. Kemudian 14% ekspor dunia mengalir ke 10 negara Dunia Ketiga yang terpenting dalam hal penyebaran investasi langsung manca negara. Jadi, 84% perdagangan dunia hanya berputar di antara wilayah-wilayah yang hanya dihuni oleh 28% dari seluruh populasi dunia.



0

Pemilu bukan solusi!






0

Apa itu Neolib - Neoliberalisme

Neoliberalisme merupakan istilah lain yang diberikan terhadap perkembangan sistem ekonomi kapitalisme saat ini yang dijalankan di Indonesia, maupun di berbagai belahan dunia lainya. Kapitalisme sendiri adalah sistem ekonomi dimana alat-alat produksi dimiliki, dikuasai oleh segelintir orang pemilik modal (pengusaha), sementara kelompok besar lainnya (rakyat pekerja) harus bekerja untuk mendapatkan upah agar dapat melanjutkan hidupnya.

Karena kaum pemilik modal menguasai alat-alat produksi, mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, dan mengontrol seluruh kebijakan pemerintah agar berpihak kepada kepentingan kaum pemilik modal. Sejak tahun 1980-an, sistem ekonomi kapitalisme neoliberal ini mulai dipraktekkan di berbagai belahan dunia.

Mengapa disebut Neoliberalisme?

Karena kini kapitalisme mempraktekkan kembali prinsip ekonomi liberal, dimana “persaingan bebas, pasar bebas” harus menjadi dasar dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Tanggung jawab sosial dan perlindungan negara terhadap “kaum lemah” yang sebelumnya dipraktekkan dalam kapitalisme harus digantikan oleh “pasar”, “biarkan pasar menyelesaikannya”. Tugas dari negara, justru menjamin bahwa “persaingan bebas, pasar bebas” bergerak dan berfungsi optimal.

Bentuk kongkret kebijakan “pasar bebas” ini adalah:

1. Kekayaan alam, energi, dan seluruh aset suatu negara harus bebas dibuka untuk dimasuki, dimiliki dan dikuasai oleh asing. Artinya kebijakan yang menghambat, membatasi masuknya modal asing harus dihapuskan.

  1. Pasar dalam negeri suatu negara harus dibuka penuh untuk dimasuki oleh asing. Artinya tidak ada proteksi atau hambatan dari kebijakan negara bagi produk-produk asing untuk masuk, bersaing, dan berikutnya mengalahkan produk-produk dalam negeri. Tidak peduli apakah itu akan menghancurkan industri nasional ataukah tidak

  2. Swastanisasi atau privatisasi. Konsep bahwa sektor-sektor penting dan dibutuhkan untuk rakyat banyak harus dikuasai oleh negara, -yang muncul dalam bentuk Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D)- harus dijual dan boleh dikuasai asing.

  3. Tanggungjawab sosial negara (keberpihakan dan perlindungan negara) terhadap kelompok mayoritas yang lemah (buruh, petani, nelayan dan rakyat miskin) harus dihapuskan. Serahkan semua pada mekanisme pasar, harus dibeli sesuai dengan harga pasar. Bentuk nyatanya adalah: dikurangi hingga dihapuskannya seluruh subsidi. Akibatnya: pendidikan, kesehatan, pupuk, dan segala kebutuhan sosial lainnya menjadi mahal dan tak mampu “dibeli” oleh rakyat kebanyakan

  4. Begitu pula halnya di bidang ketengakerjaan, segala persoalan yang menyangkut ketenagakerjaan (upah, hubungan kerja, jaminan sosial, lapangan pekerjaan, serikat buruh) biarkan ditentukan oleh pasar.

Mengapa dan Bagaimana Neoliberalisme bisa berkembang?

Kapitalisme merupakan sistem ekonomi cikal-bakalnya telah muncul sejak abad 15 dan mencapai titik maju setelah terjadinya revolusi industri. Sepanjang sejarah kapitalisme, sistem ekonomi kapitalisme selalu lah menghasilkan dua hal:

  1. Krisis ekonomi yang mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan massal.

  2. Adanya pertentangan antara BURUH dan pemilik modal (kapitalis/pengusaha).

Sepanjang kapitalisme ada, pertentangan ini tidaklah akan pernah berhenti. Dari mulai pertentangan antara seorang buruh dengan seorang majikan, hingga pertentangan antara seluruh (organisasi) buruh dengan seluruh majikan. Kedua hal diatas jika dibiarkan akan dapat menghancurkan kapitalisme.


Hal ini kemudian disadari, -sehingga pada awal 1930-an di AS-, konsep “pasar bebas” harus dibatasi, apalagi kekuatan buruh telah berkembang semakin kuat. Negara harus melindungi dan memiliki tanggung jawab sosial terhadap warga negaranya yang lemah. Sederhananya, “Kesejahteraan juga harus dapat dinikmati oleh kaum yang lemah”. Negara harus memberikan sejumlah jaminan sosial, subsidi kepada rakyatnya yang lemah: kesehatan, pendidikan, perumahan, pengangguran dan lain sebagainya.


Konsep “Negara Kesejahteraan” ini terus berjalan hingga di akhir tahun 1970-an. Pada paruh kedua tahun 1970-an, ekonomi kapitalisme terutama di negara-negara pertama (negara-negara yang tergabung dalam G7) mulai stagnan/mandeg dan membutuhkan adanya pasar yang lebih luas sebagai solusinya. Tetapi rencana ini dirasa terhambat dengan adanya sejumlah kebijakan nasional di negara-negara dunia ketiga dan negara-negara yang baru merdeka yang menghambat masuknya modal dan produk dari dunia pertama.


Oleh karena itu kemudian, konsep “pasar bebas” dalam kapitalisme harus kembali dijalankan dengan tujuan yang sama seperti saat mereka MENJAJAH dahulu, yaitu: Penguasaaan sumber daya alam, kebutuhan akan pasar, dan kebutuhan adanya tenaga kerja yang murah. Inilah mengapa sistem ekonomi neoliberal kita sebut sebagai dengan sistem ekonomi PENJAJAHAN BARU. Sejak awal tahun 1980-an hingga saat ini sistem ekonomi kapitalimse neoliberal telah dipraktekkan secara global di seluruh negeri di dunia dengan menggunakan dua alatnya, yaitu:


1. IMF, Bank Dunia, dan organisasi perdagangan Dunia (WTO). Karena praktis lembaga-lembaga ekonomi dunia ini dikuasai oleh negara-negara penjajah. Misalnya 5 pimpinan Dewan Eksekutif permanen IMF dicalonkan oleh lima pemilik saham terbesar yaitu: Amerika, Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang. Jumlah suara di IMF didasarkan pada jumlah setoran pada sumber keuangan IMF. Misalnya saja pada tahun 1990 tercatat bahwa 23 negara dunia I memiliki 62,7 % suara berbanding dengan 35,2 suara yang dimiliki 123 anggota lainnya.

2. Hutang Luar Negeri. Lewat hutang luar negeri yang diberikan IMF dan Bank Dunia kepada negara-negara peminjam, mereka mensyaratkan bahwa negara-negara peminjam harus melaksanakan kebijakan ekonomi neoliberal ini.