­

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magnaaliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exer ull labo nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor aliquip.

Koalisi PRD dengan GOLKAR

Dita Sari dan kroninya (baca: elite PRD) telah mengajukan proposal yang kemudian meloloskan taktik parlementer dengan merespon pemilu bersama PBR. Dalam proposal itu dinyatakan, tak akan muncul krisis ekonomi yang mendalam seperti tahun 98, atau paling tidak mendekati itu. Sehingga tak akan muncul lonjakan pemiskinan yang dapat memicu radikalisasi massa. Kondisi ekonomi akan berjalan relatif stabil—analisa yang salah total karena yang terjadi kini adalah sebaliknya—dan masyarakat akan tenang, adem ayem .

Dengan alasan—yang salah—tersebut ditambah momentum pemilu ke depan, mereka kemudian menyatakan bahwa menggantungkan taktik pengolahan radikalisasi massa secara tradisional (baca: ekstraparlementer semata) tidak akan terlalu efektif. Keterlibatan massa akan minim.

Sebagian argumentasi itu ada benarnya, maka itu lah Papernas dibentuk, untuk mengintervensi momentum pemilu. Tapi itu bukan berarti meninggalkan sepenuhnya potensi radikalisasi massa, seperti yang sudah dilakukan Dita Sari dan kroninya.

Selepas Papernas gagal verivikasi, Dita Sari dan kroninya justru terjerumus dalam kekeliruan yang fatal. Walau satu-satunya alat elektoral kaum revolusioner telah gagal, mereka dengan picik dan pragmatisnya tetap memaksakan untuk terlibat dalam pemilu secara total. Mereka tidak menghiraukan walau taruhannya adalah menjerat leher partai dan menggantungkannya ke kaki borjuasi. Sebab, seberapapun mereka melakukan pembenaran, PBR tetap lah partai borjuis.

Ini bukan berarti alergi terhadap taktik koalisi. Hanya saja, mutlak dibutuhkan ketepatan perhitungan agar keuntungan sepenuhnya dapat dicapai, bukan sebaliknya justru dimanfaatkan. Jika berkoalisi dengan mereka dalam medan ekstra parlemen, maka kemungkinan memetik keuntungan jauh lebih besar, baik dari segi kampanye atau massa. Melainkan adalah awal dari kehancuran jika partai (baca: PRD) berkoalisi dengan partai boruis dalam medan elektoral. Karena, seluruh partai peserta pemilu bukanlah kelompok pendukung gerakan demokratik yang selama ini bahu membahu bersama partai dan rakyat di jalanan.

Pertanyaannya kemudian, kenapa Dita Sari dan kroninya tidak memilih koalisi dengan PDIP yang basis massanya orang-orang miskin perkotaan, atau dengan PKB yang pernah dekat dengan partai, atau bahkan dengan Partai Buruhnya Muktar Pakpahan yang dulu sempat diajak bergabung dalam POPOR? Kenapa harus PBR?

Beberapa kali Dita Sari mengatakan dalam wawancara di media, bahwa pilihan terhadap PBR adalah pilihan yang terbaik dari yang terburuk.

Apa benar begitu adanya? Biar bagaimanapun yang namanya partai borjuis tetap partai borjuis, apapun label dan embel-embelnya. Tak ada yang terbaik atau terburuk, semua relatif serupa. Yang membedakan masing-masing partai hanya jumlah kursi dan ketersediaan dana. Siapapun pemenang pemilu, hasilnya sama.

Dilihat dari pengusungan program ekonomi dan politik, semua partai dari Golkar, PDIP, PPP, HANURA sampai PBR, semua sederajat. Jangankan PBR, Golkar dan Suharto di era Orde baru bahkan selalu berkoar-koar tentang keharusan mengentaskan kemiskinan, swasembada, membela petani. Tetapi apa buktinya? Itu semua hanya silat lidah khas borjuasi. Apalagi menjelang pemilu seperti sekarang, segala jargon anti kemiskinan, membela wong cilik dan segala tetek bengeknya mulai berseliweran. Lihat saja Prabowo dan Wiranto yang paling mampu memanfaatkan momentum Pemilu untuk mencuci lumuran darah di tangannya lewat buai kata-kata indah. Coba lihat juga janji-janji PDIP dan GOLKAR, pasti akan ditemukan program-program yang sama manisnya dengan yang ditawarkan PBR.

Ini pemilu bung! Sudah jadi watak borjuasi untuk pada berlomba bersolek. Dan hanya bersolek! Tak terkecuali juga PBR.

Kesalahan besar menelan mentah-mentah janji PBR! Itu sama halnya dengan memberi standard yang sama untuk juga mempercayai apa yang jadi janji GOLKAR, PDIP, HANURA, atau GERINDRA. Tidak perduli apakah PBR telah menandatangani MOU bersama PRD. Apalagi sekarang memang sedang trendnya menandatangani MOU, bukan cuma PBR yang melakukannya. Dan itu sekedar untuk menarik simpati, bukan kesungguhan untuk memperjuangkan. Sungguh bodoh jika menggantungkan pada hal tersebut.

Oleh karena itu, berkoalisi dengan Golkar, PDIP atau PBR sesungguhnya sederajat. Sangat absurd jika mengatakan, lebih baik berkoalisi dengan PBR daripada dengan GOLKAR. Karena pada dasarnya sosok mereka sama busuk, hanya topengnya yang berbeda. Yang satu memakai topeng nasionalis, yang lain berikrar perubahan, lalu juga ada yang membawa-bawa nama agama, namun watak sejati dan ideologi mereka serupa, termasuk juga PBR. Sejarah lima tahun mereka duduk di DPR membuktikan hal itu.

Dita Sari beserta kroninya sering mengagung-agungkan PBR sebagai partai yang membela kepentingan rakyat. Beberapa kali dalam media Dita sari menyatakan hal itu. Tapi nyatanya PBR tidak lebih dari partai yang ikut menolak pembentukan pansus BBM. Mereka jadi bagian yang bersepakat dengan kenaikan BBM yang menyengsarakan rakyat. Tidak ada satupun jejak perjuangan PBR dalam keterpihakannya pada kepentingan rakyat miskin!

Dita Sari juga beberapa kali menyampaikan kesamaan program PBR dengan PRD, yang menjadi landasan koalisi serta isi MOU. Program-program tersebut secara garis besar ada 3, yaitu: Anti hutang luar negri; Kemandirian ekonomi ; dan Pemajuan desa tertinggal.

Mana dari ketiganya yang merupakan program revolusioner? Tiga program itu tidak bisa disamakan begitu saja dengan Tri panji partai:
1. Penghapusan hutang luar negri.
2. Nasionalisasi pertambangan asing.
3. Pembangungan industri nasional.

Yang ditawarkan PBR bukan semata beda redaksional, esensinya pun sudah berbeda. Bersepakat dengan itu sama saja menggadaikan ideologi partai, bukan sekedar berkonsensus. Padahal berkonsensi dengan borjuasi saja sudah merupakan dosa besar.

Bahkan secara redaksional pun program-program mereka tidak jauh berbeda dengan partai-partai lain. SBY secara silat lidah sering berkata di pidato-pidatonya tentang pentingnya kemandirian ekonomi. Tanyakan pada politikus PDIP dan Megawati, mereka pasti akan dengan gamblang menyatakan ketidak setujuan akan hutang luar negri. Tengoklah Golkar yang selalu mengusung slogan pengentasan kemiskinan, bahkan di era Suharto pun sempat membuat program desa inpres.

Dita Sari dan kroninya mungkin berdalih bahwa itu hanya masalah tata bahasa, penyesuaian dengan pembahasaan di PBR. Tetapi nyatanya tidak sekedar begitu. Kemandirian ekonomi, kemajuan desa tertinggal, itu semua lebih mirip jargon orde baru. Omong kosong dan terlalu bias makna. Khas elite politik.

Padahal kalau kita melihat kampanye-kampanye pilkada sekarang, mereka sudah jauh lebih progresif dari program yang ditawarkan PBR. Contoh saja, walau hanya sebatas slogan, namun banyak yang sudah mulai berani menjanjikan pendidikan gratis untuk rakyat. Bandingkan dengan program kemandirian ekonomi, atau memajukan desa tertinggal milik PBR. Program pendidikan gratis jauh lebih maju, dan lebih konkret.

Sekali lagi, ini bukan berarti harus sepenuhnya anti terlibat di pemilu. Tapi lebih pada penggunaan taktik yang tepat agar jangan sampai menjerumuskan massa. Di masa kampanye ini, apa yang mau dikatakan pendukung Dita Sari ke massa? “Ayo coblos PBR karena PBR adalah partai yang pro rakyat.” apa itu namanya bukan menipu dan memanipulasi kesadaran massa. Lain halnya jika kemudian PAPERNAS bisa lolos, adalah pernyataan yang tepat jika menyebut PARPERNAS sebagai partai yang pro rakyat.

Persoalannya bukan sekedar ikut pemilu atau tidak. Saya bisa membayangkan, mungkin yang akan dikampanyekan Dita sari dan kroni-kroninya ke massa adalah seperti ini, “Ayo coblos PBR karena di dalamnya ada orang PRD. Jangan lihat PBRnya, melainkan lihat caleg PRDnya.”

Lha kalau seperti itu, berarti tidak ada bedanya ikut dengan partai lain. Bisa saja kemudian diganti: “Ayo coblos GOLKAR karena di dalamnya ada orang PRD. Jangan lihat GOLKARnya, melainkan lihat caleg PRDnya.” Secara ideologis, keduanya sederajat. Jadi, berkoalisi dengan PBR tidak ubahnya berkoalisi dengan GOLKAR.

Di wawancara Dita sari sering berdalih, kalau mencari suara, buat apa ikut partai kecil, lebih baik ikut partai yang lebih besar pemilihnya.

Menurut saya, partai kecil bukan jaminan keterpihakannya pada rakyat. Mereka kecil hanya karena kurang dana dan kurang tenaga, bukan karena lebih berpihak pada rakyat. Apa bukannya alasan utama pemilihan PBR lebih karena mereka lah satu-satunya partai yang menawarkan PRD untuk jadi Caleg, dan serius memberi ruang untuk itu? Harap diperhatikan, serius memberi ruang bagi kader PRD untuk jadi caleg bukan berarti serius memperjuangkan kepentingan revoluisoner.

Itulah alasan utama kenapa Dita Sari dan kroninya berkoalisi dengan PBR, karena cuma PBR yang serius menyediakan ruang sebagai caleg. Selain itu, tak ada dasar strategis lainnya. Hal-hal lain, seperti analisa sitnas dan turunannya, semata dibuat sebagai pembenar keinginan subyektif tersebut.

Sudah menjadi pemahaman bahwa rakyat saat ini cenderung terilusi oleh pemilu. Pertanyaanyannya kemudian, apa bukannya Dita Sari dan kader-kader PRD lainnya juga ikut terilusi?

Bagi kawan-kawan yang bersepakat dengan Dita, analisa lah diri anda dengan sungguh, apa anda terilusi atau tidak? Karena sesungguhnya Dita Sari beserta kroninya sama terilusinya dengan massa. Buntutisme sejati! Tak ubahnya dengan Menshevik yang mencampakan diri masuk ke dalam pemerintahan sementara karena semata mendapat kesempatan untuk itu, tanpa melihat watak sejatinya pemerintahan tersebut.

Massa mungkin terilusi bahwa pemilu bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan. Tapi, bukan tidak mungkin Dita Sari beserta kroninya terilusi dengan bayang indah kursi parlemen, baik di DPR atau DPRD. Kesadaran ini bisa saja terbentuk karena kelelahan berjuang sekian tahun tanpa kenyamanan, apalagi melihat rekan-rekan seperjuangan sebelumnya telah hampir pasti meraih hal itu. Tengok saja Budiman di PDIP yang semakin mapan posisinya dan tinggal selangkah saja masuk parlemen. Atau juga ada Faesol Reza di PKB, atau bahkan Andi Arief yang sanggup masuk ke jajaran birokrasi lewat dukungannya pada SBY.

Sungguh bahaya jika ambisi pribadi tersebut tanpa sadar telah menjadi alasan mendasar dari pemilihan taktik pemilu PRD saat ini. Mereka melakukan pembenaran dengan berbagai analisa serta memanipulasi kesadaran di internal partai untuk menunjang hal tersebut. Dengan slogan revolusioner Dita Sari beserta kroninya menggunakan kendaran PRD & PAPERNAS semata untuk mewujudkan kepentingan subyektif mereka.

Di jawa tengah, sebagai basis loyalis Dita, ada seorang kader (sebut saja namanya Wiwik dari Purwokerto). Beberapa waktu lalu seorang kawan lama bertemu dengannya di kantor PRD Jateng. Dan dalam pertemuan itu Wiwik dengan bangganya berpamer kalau ia telah resmi jadi Caleg Jateng.

Sungguh ironis. Apa itu namanya bukan terilusi! Buntutisme! Parlementaris tulen! Itulah kekerdilan yang berhasil dibentuk Dita Sari dan kroninya, kebanggaan sebagai caleg! Mimpi yang mengalahkan obyektivitas dan ketepatan taktik, bahkan melunturkan ideologi. Mungkin bisa dikata, semerosot itulah kesadaran para loyalis Dita Sari.

Memakai parlemen sebagai alat perjuangan revolusioner

atau
Memakai perjuangan revolusioner sebagai alat menuju parlemen?


Setipis itulah garis pembatas antara watak revolusioner dengan parlementaris tulen. Namun sejatinya, dengan analisa yang obyektif kebusukan tersebut dapat terlihat dengan jelas. Belum terlambat untuk berpindah sikap.


Sebagai catatan, saya sendiri bukan anggota KPRM-PRD atau bahkan juga sekedar penggiat politik. Hanya orang iseng yang berkomentar, itu saja. Yah, ini memang tidak meletakan saya pada posisi yang lebih baik dibanding para opurtunis itu.






0 comments:

Posting Komentar