Penulis: Ajianto Dwi Nugroho (Mantan Kalitbang Majalah Balairung)
Balairung, Mayoritas terbesar dari negara-negara dunia yang dihuni oleh hampir ¾ dari seluruh populasi dunia - yaitu sekitar 3,8 milyar manusia bukan hanya diabaikan dalam penyebaran investasi langsung manca negara, melainkan sama sekali dimarginalkan (dipinggirkan) dalam peredaran perdagangan dunia.
Jalan utama bagi wilayah-wilayah ini untuk "terintegrasi" ke dalam ekonomi kapitalis global adalah melalui upeti tahunan sebesar 40 milyar dollar, yang mereka berikan dalam bentuk pembayaran hutang serta pelayanan kepada bank-bank dan pemerintahan-pemerintahan para anggota Triad imperialis.
Akan tetapi, sementara kewajiban pembayaran hutang itu menimpakan beban yang sangat berat terhadap perkembangan ekonomi dan sosial mereka, kenyataan menunjukkan bahwa hutang ini ternyata hanyalah bagian yang marginal dari hutang global. Pada tahun 1990, total jumlah hutang pemerintahan-pemerintahan sentral dan lokal, rumah tangga dan bisnis-bisnis non-finansial di AS sendiri adalah sebesar 10,6 trilliyun dollar - hampir 10 kali total jumlah hutang negara-negara Dunia Ketiga.
Jadi, bagi mayoritas terbesar penduduk dunia, posisi mereka dalam pasar "global" hanya serupa dengan posisi propinsi-propinsi terbelakang dalam emperium Romawi selama masa kemunduran dan kebobrokan, yaitu corak produksi kepemilikan budak - dijarah dan dimiskinkan untuk memperkaya tuan-tuan berpunya yang tinggal di pusat-pusat emperium.
Angka-angka yang disebutkan diatas tentang distribusi investasi langsung manca negara, aset dan penjualan dari perusahaan-perusahaan transnasional, menunjukkan bahwa - untuk semua maksud dan tujuannya - negara-negara imperialis lah yang memenuhi keanggotaan dari ekonomi yang "meng-global", jika hubungan ekonomi seperti itu memang bisa dikatakan ada.
Ekonomi kapitalis dunia terbangun di seputar blok-blok perdagangan dan investasi yang saling bersaing, yang berpusat di nation-states Eropa Barat, Amerika Utara dan Jepang. Mayoritas perusahaan transnasional tersebut hanya beroperasi di sejumlah kecil negara - terutama di "home" country mereka sendiri dan di negara-negara "berupah tinggi" lainnya dari Triad imperialis.
Berlawanan dengan pernyataan dari para pendukung tesis globalisasi, ternyata perusahaan-perusahaan transnasional tidak mengarahkan investasinya ke wilayah-wilayah dunia dimana biaya tenaga kerja paling rendah. Tidak ada dorongan kuat oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang bermarkas di Jerman, misalnya, untuk mengalihkan modal mereka dari industri-industri manufaktur di Jerman - dimana rata-rata upah buruh adalah 25 dollar per jam - ke cabang-cabang yang tidak memiliki serikat buruh dalam industri India, dimana upah rata-rata hanya 40 sen per jam.
Kenyataannya, komponen manufaktur dari investasi langsung manca negara oleh perusahaan-perusahaan transnasional semakin besar diarahkan ke cabang-cabang industri dengan tingkat pengeluaran yang tinggi pada modal tetap (fixed capital), angkatan kerja yang lebih kecil namun lebih trampil (ber-skill), yang dengan demikian juga berarti tingkat upah yang lebih tinggi (seperti perusahaan-perusahaan bahan kimia, mobil dan elektronik), bukan ke cabang-cabang industri yang ber-skill rendah, upah rendah, ataupun cabang-cabang industri yang padat tenaga kerja seperti tekstil, garmen dan sepatu.
Internasionalisasi Modal
Tidak diragukan lagi, jelas terdapat kecenderungan yang kuat ke arah internasionalisasi modal dalam dekade-dekade terakhir. Munculnya perusahaan-perusahaan transnasional sebagai bentuk dominan dari organisasi modal besar dibawah kapitalisme-monopoli-lanjut adalah buktinya.
Akan tetapi, untuk memahami dinamika riil dari kecenderungan ini, adalah penting untuk tidak merancukan pemahaman antara internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi (yaitu internasionalisasi produksi dan realisasi dari nilai lebih/surplus value) dengan internasionalisasi kekuatan komando atas modal (yaitu sentralisasi internasional terhadap modal).
Internasionalisasi dari realisasi surplus value - yaitu penjualan komoditi - adalah suatu kecenderungan yang inherent dalam kapitalisme, namun ia telah berkembang secara sangat berbeda sepanjang sejarah corak produksi ini. Secara luas, internasionalisasi ini meningkat dari awal abad ke-19 sampai meletusnya Perang Dunia I (yaitu: ekspor tumbuh dari hanya sebesar 3% output dunia pada tahun 1800 menjadi 16% pada 1913).
Angka ini merosot selama gelombang depresi (krisis ekonomi) panjang, yang menandai masa-masa perang antara tahun 1913 sampai 1939. Angka ini mulai naik lagi pada periode setelah Perang Dunia II - namun hanya mencapai 15% dari output dunia pada tahun 1990. Demikian pula, saham dunia yang terakumulasi dalam hal investasi langsung manca negara pada tahun 1913 setara dengan 12% output dunia, namun mengalami penurunan yang cukup besar pada masa-masa perang. Pada tahun 1990, angka ini tidak lebih dari 10%.
Sebelum Perang Dunia II, hanya terdapat internasionalisasi yang marginal dalam hal produksi surplus value di luar sektor bahan mentah. Yaitu, sangat sedikit perusahaan besar yang mengeluarkan modal - yang konstan dan yang bervariasi - diluar "home" country-nya. Hal ini mulai berubah setelah Perang Dunia II, seiring perusahaan-perusahaan besar yang berbasis di negara-negara kapitalis maju - terutama perusahaan besar yang berbasis di AS - mulai melakukan investasi dalam produksi manufaktur di luar negeri, baik melalui pengaturan usaha-usaha yang dimiliki oleh anak-anak perusahaannya di manca negara, ataupun dengan membeli perusahaan-perusahaan manufaktur luar negeri. Sejak tahun 1960-an, hal ini telah menjadi fenomena umum bagi modal besar di semua negara kapitalis maju, yang untuk pertama kalinya telah dengan cepat membentuk sebuah kerangka internasional untuk kompetisi modal.
Namun demikian, internasionalisasi pembelanjaan modal tidak selalu selaras dengan internasionalisasi kepemilikan modal, yaitu penggabungan (fusi) modal-modal dari negara-negara yang berbeda menjadi perusahaan-perusahaan yang betul-betul bersifat multinasional (perusahaan yang dimiliki oleh kapitalis-kapitalis dari kewarganegaraan yang berbeda-beda, dimana kekuasaan komando atas modal dari perusahaan ini tidak berada di tangan kapitalis-kapitalis dari negara tertentu). Selain di Eropa Barat, sedikit sekali terdapat bukti bahwa penggabungan modal seperti itu telah atau sedang terjadi.
Organisasi-organisasi Internasional
Akan tetapi, bukankah pemerintahan-pemerintahan di dunia ini semakin lama makin menyerahkan kedaulatan kepada organisasi-organisasi internasional IMF, Bank Dunia dan WTO (World Trade Organisation / Organisasi Perdagangan Dunia) yang bertindak untuk kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional? Di sini, kembali kita perlu membedakan antara negara-negara semi-kolonial dengan nation-states imperialis.
Pemerintahan negara-negara imperialis tidak lain adalah komite eksekutif untuk mengatur kepentingan-kepentingan yang sama dari kapitalis-kapitalis nasional mereka, dimana fraksi yang dominan diorganisir menjadi perusahaan-perusahaan transnasional. Dan pemerintahan negara-negara imperialis lah yang mengontrol IMF, Bank Dunia dan WTO, seperti juga mereka mengontrol Dewan Keamanan PBB. Di dalam IMF, misalnya, suara ditentukan berdasarkan proporsi sumber keuangan yang disumbangkan sebagai dana. Pada tahun 1990, dua puluh tiga negara imperialis memiliki 62,7% suara dibandingkan 35,2% suara untuk 123 anggota lainnya. Lima direktur tetap dari Dewan Eksekutif IMF dicalonkan oleh lima penyumbang terbesar - AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang.
Fungsi esensial dari IMF, Bank Dunia dan WTO adalah untuk memaksakan kebijakan-kebijakan ekonomi dunia kepada negara-negara lain, yang kebijakan-kebijakan itu sebelumnya telah disepakati di antara negara-negara imperialis besar. Kebijakan-kebijakan ini diputuskan setiap tahun pada pertemuan puncak pemerintahan-pemerintahan dari 7 negara imperialis terkaya G-7.
Pada pertemuan tahun 1976, misalnya, para pemimpin G-7 menyepakati sebuah program untuk mereorganisasi (menata kembali) ekonomi-ekonomi Dunia Ketiga dengan cara: membuka pasar dunia (yaitu mengimpor dari negara-negara imperialis); lebih memprioritaskan ekspor daripada pasar dalam negeri; swastanisasi perusahaan-perusahaan negara; dan membuka diri terhadap investasi asing (yaitu penanaman modal oleh negara-negara imperialis); serta pengurangan poin-poin anggaran yang "tidak produktif" seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam tahun-tahun setelah 1976, ini semua telah menjadi kebijakan yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia terhadap negara-negara penghutang dari Dunia Ketiga.
Tujuan dari kebijakan-kebijakan ini adalah untuk menurunkan campur tangan pemerintah, dan memberikan konsesi ekonomi serta kebebasan politik formal kepada borjuasi di negara-negara Dunia Ketiga. Jadi, penerapan resep pro-ekspor bagi semua negara penghutang di Dunia Ketiga berarti meningkatnya persaingan di antara mereka, yang ini menimbulkan malapetaka berupa anjloknya harga produk-produk ekspor dari negara-negara tersebut, yang umum-nya terdiri atas bahan-bahan mentah. Pada tahun 1989, harga rata-rata untuk produk ini - kecuali minyak - adalah kurang dari 33% harga pada tahun 1980.
Mendapatkan kembali pasar dalam negeri dari negara-negara semi-kolonial juga merupakan tujuan fundamental di balik dorongan besar oleh kekuatan imperialis terhadap asosiasi-asosiasi "perdagangan bebas" seperti NAFTA dan APEC. Penghapusan bea impor oleh semua anggota dari asosiasi-asosiasi ini telah menghancurkan satu-satunya bentuk proteksi yang dimiliki oleh negara-negara semi-kolonial terhadap penetrasi ke dalam pasar domestik mereka oleh kekuatan imperialis. Akan tetapi, negara-negara imperialis sendiri mampu membatasi (membendung) penetrasi ke dalam pasar domestik mereka oleh ekspor dari negara-negara semi-kolonial, dengan cara mempertahankan berbagai perintang non-tarif yang sangat kuat.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magnaaliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exer ull labo nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor aliquip.
0 comments: